TRIBUNNEWS.COM - Kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim terkait penghapusan Ujian Nasional (UN), ditanggapi para guru.
Kebijakan yang berisi wacana UN diganti dengan asesmen kompetensi dan survei karakter menuai pro dan kontra dari para pendidik.
Beberapa guru mengungkapkan setuju dengan kebijakan baru tersebut.
Namun, beberapa guru tak sedikit yang menyatakan penolakannya.
Ada pula guru yang merasa ragu dengan kebijakan tersebut.
Dilansir dari tayangan Mata Najwa, Rabu (18/12/2019), berikut ini tanggapan para guru terkait kebijakan dari Mendikbud.
Setuju
Ada tiga guru yang menyatakan mereka setuju UN dihapus atau diganti dengan kebijakan lain.
1. Kepala SMAN 1 Denpasar, Muhammad Rida
Kepala SMAN 1 Denpasar, Muhammad Rida mengaku setuju dengan kebijakan tersebut.
"Keberhasilan siswa ditentukan tiga hari ujian itu saja. Padahal kita tahu, ini butuh proses dari kelas 10 sampai kelas 12 ," kata Muhammad Rida.
2. Wakil Kepala SMA Negeri 1 Semarang, Atiek Setyati
Pernyataan setuju juga datang dari Wakil Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Semarang, Atiek Setyati.
Atiek mengaku murid sekarang bisa mengakali UN.
"Sudah terlalu lama ya Ujian Nasional, sehingga bisa disiasati oleh murid," katanya.
3. Guru SMA YP Unila Kota Bandar Lampung, Ahmad Zilalin
Ahmad Zilalin juga setuju dengan kebijakan terbaru ini.
Menurut guru di SMA YP Unila Kota Bandar Lampung tersebut, hal ini merupakan bukti pemerintah percaya kepada tenaga pendidik.
"Berarti pemerintah sudah mulai percaya, proses asesmen dan sebagainya dilakukan oleh guru dan sekolah," ungkapnya.
Tidak Setuju/Kurang Setuju
1. Guru Sekolah Menengah Atas, Haris Malikus
Haris Malikus mengaku kurang sependapat dengan kebijakan tersebut.
"Karena di situ ada standarisasi, penyeragaman," katanya.
2. Guru SDN 2 Pelita Kota Bandar Lampung, Erdawati
Erdawati mengungkapkan dia kurang setuju dengan adanya penghapusan UN.
"Kalau tidak ada UN, itu tidak ada ukuran," tuturnya.
3. Kepala SD Saraswati 1 Denpasar, Ni Made Kuaci Sukerti
Pernyataan kurang setuju juga datang dari Ni Made Kuaci Sukerti.
"Anak-anak itu kurang ada gregretnya untuk belajar," tegasnya.
4. Guru SD Saraswati 1 Denpasar, Ni Ketut Sumawati
Guru SD Saraswati 1 Denpasar mengaku kurang setuju dengan wacana adanya pengganti UN.
"Ujian Nasional itu sebagai acuan kami di sekolah. Untuk menentukan nilai standar anak-anak, kemampuan anak-anak dan memacu kepada anak," tegasnya.
Setuju Tidak Setuju
1. Guru SMA Ahmad Riza
Ahmad Riza mengaku cukup bias dengan kebijakan tersebut.
Ia mengaku setuju, dan tidak setuju.
"UN yang kemarin tidak menentukan kelulusan, jadi ketika sekarang dihapus pun sepertinya tidak terlalu mempengaruhi psikologis anak?" katanya.
Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter
Nadiem Makarim menjelaskan pengertian program pengganti UN yaitu Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.
Menurut Nadiem, program pengganti itu tengah dibahas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Pelaksanaan program tersebut akan berbasis komputer.
"Secara teknis, detailnya kita sedang membahas, tapi sudah pasti akan dilaksanakan melalui komputer," ujar Nadiem saat Rapat Koordinasi bersama Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Indonesia di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, yang Tribunnews kutip dari YouTube Kompascom Reporter on Location, Rabu (11/12/2019).
Pelaksanaan berbasis komputer tersebut, menurutnya itu berdasarkan standar nasional yang sudah ditentukan.
"Apapun dalam standar nasional itu computer based," lanjutnya.
Program pengganti UN itu, Nadiem mengatakan sebagai gerakan Kemendikbud ke depan.
Selain itu, program baru tersebut akan menjadi tugas ke depan Kemendikbud untuk membantu semua siswa di Indonesia dapat mengoperasikan komputer.
"Jadi itu adalah gerakan kita, PR kita selama satu tahun ke depan ini adalah memastikan semua murid itu bisa (menggunakan)," jelasnya.
Alasannya, menurut Nadiem, masih ada siswa di beberapa daerah yang belum bisa mengoperasikan komputer.
"Karena beberapa di daerah kan belum bisa," jelasnya.
Sehingga tugas tersebut, akan dituntaskan Nadiem Makarim bersama Kemendikbud pada tahun ini.
"Jadi itu harapannya harus kita tuntaskan tahun ini," tambah Nadiem.
Nadiem Makarim mengatakan, penggantian UN tersebut dianggap kurang ideal untuk mengukur prestasi belajar siswa.
Nadiem juga menyebut, materi dalam ujian nasional juga terlalu padat.
Menurutnya, materi yang padat tersebut mengakibatkan siswa cenderung berfokus pada hafalan materi dan bukan kompetensi.
"Ini sudah menjadi beban stres antara guru dan orang tua. Karena sebenarnya ini berubah menjadi indikator keberhasilan siswa sebagai individu," ungkap Nadiem.
Nadiem menjelaskan, semangat UN itu untuk mengasesmen sistem pendidikan, baik itu sekolahnya, geografinya, maupun sistem pendidikan secara nasional.
Sehingga, ia menjelaskan, UN hanya menilai satu aspek, yakni kognitifnya.
Malah menurutnya, belum menyentuh seluruh aspek kognitifnya, tapi lebih kepada penguasaan materi.
"Belum menyentuh karakter siswa secara lebih holistik," tambah Nadiem.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)