TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sepanjang 2019, sorotan mengarah kepada penegakan hukum terutama di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Selama kurun waktu satu tahun, masyarakat disajikan pemberitaan pelaku tindak pidana korupsi mendapatkan keringanan hukuman yang diberikan oleh Mahkamah Agung (MA).
MA berwenang memutus permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan.
Setelah merasa tidak mendapatkan keringanan hukuman di pengadilan tingkat pertama, para koruptor mencoba peruntungan dengan cara mengajukan permohonan kasasi di MA.
Di pengadilan tingkat pertama, M Sanusi dijatuhi hukuman 7 tahun penjara. Jaksa Penuntut Umum tidak terima dan mengajukan banding. Sehingga, Hukuman diperberat menjadi 10 tahun penjara. Namun, Sanusi mengajukan PK ke MA yang akhirnya memutuskan akan menjalani hukuman selama 7 tahun penjara.
Irman Gusman
MA mengabulkan upaya hukum PK terpidana kasus suap impor gula Irman Gusman. Mantan Ketua DPD itu akan menjalani hukuman selama 3 tahun penjara denda Rp50 juta subsider 1 bulan kurungan. Duduk sebagai majelis hakim, yaitu Suhadi, Eddy Army dan Abdul Latief.
Irman Gusman terbukti korupsi mengurus impor gula. Irman dinilai terbukti menerima suap dari Direktur CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto dan Memi.
Di pengadilan tingkat pertama, Irman Gusman dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara.
Patrialis Akbar
MA mengabulkan upaya hukum PK Patrialis Akbar. Mantan hakim Mahkamah Konstitusi itu akan menjalani hukuman selama tujuh tahun penjara.
Patrialis terbukti menerima suap dari pengusaha impor daging, Basuki Hariman dan stafnya Ng Fenny. Uang tersebut diberikan agar Patrialis membantu memenangkan putusan perkara Nomor 129/PUU-XIII/2015 terkait uji materi atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Di pengadilan tingkat pertama, Patrialis divonis delapan tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan. Selain itu, majelis hakim menjatuhkan hukuman tambahan berupa uang pengganti Rp 10.000 dollar AS dan Rp 4.043.000, atau sama dengan jumlah suap yang diterima.
Choel Mallarangeng
MA mengabulkan peninjauan kembali (PK) Andi Zulkarnaen Mallarangeng alias Choel Mallarangeng. Choel akan menjalani hukuman selama tiga tahun penjara.
Adik mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Mallarangeng itu terjerat kasus korupsi proyek Wisma Atlet Hambalang.
Di pengadilan tingkat pertama, Choel dijatuhkan hukuman 3,5 tahun penjara.
Tarmizi
MA mengabulkan permohonan PK yang diajukan Tarmizi, mantan panitera pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dia akan menjalani hukuman selama tiga tahun dan denda Rp 50 juta subsider satu bulan.
Dia terbukti menerima suap dari pengusaha Dirut PT Aquamarine Divindo Inspection, Yunus Nafik, lewat pengacara Ahmad Zaini.
Di pengadilan tingkat pertama, majelis hakim menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsidar 1 bulan. Atas vonis itu, Tarmizi menerima dan tidak banding atau kasasi.
Tamin Sukardi
MA mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan pengusaha Tamin Sukardi.
Tamin Sukardi terbukti menyuap hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Medan, Mery Purba. Upaya suap dilakukan agar divonis bebas di tingkat pertama.
Di pengadilan tingkat pertama, Tamin divonis enam tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan.
Idrus Marham
MA mengabulkan kasasi yang diajukan mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham terkait kasus korupsi PLTU Riau-1. Mantan Menteri Sosial itu dikurangi masa hukuman dari lima tahun menjadi dua tahun penjara.
Idrus dinyatakan bersalah menerima suap Rp2,25 miliar dari pengusaha Johanes Kotjo terkait proyek PLTU Riau-1.
Di pengadilan tingkat pertama, Lucas divonis tujuh tahun penjara dan denda Rp 600 juta.
Frederick S.T Siahaan
MA mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh mantan Direktur Keuangan PT Pertamina Frederick ST Siahaan. MA memutus bebas Frederick.
Frederick merupakan terdakwa kasus dugaan korupsi terkait investasi dalam Participating Interest (PI) atas Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia tahun 2009.
Di pengadilan tingkat pertama, Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu dianggap terbukti merugikan negara sekitar Rp 4,58 triliun terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
Mengenai adanya sejumlah pengurangan masa hukuman kepada koruptor, Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA), Abdullah, menegaskan komitmen MA melakukan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
"Jadi MA tetap komitmen melakukan tindak pemberantasan korupsi mulai dari dirinya sendiri," kata dia, dalam sesi jumpa pers di kantor MA, Jakarta Pusat, Selasa (17/12/2019).
Dia meminta semua pihak secara menyeluruh melihat putusan perkara di tingkat MA.
"Kalau bicara keadilan emang ini kualitatif tidak bisa dimasukan kuantitatif semata. Masuk ke masalah keadilan, tentunya majelis hakim telah mempertimbangkan sunggh-sungguh sesuai tingkatan," ujarnya.
Dia memandang sebagai hal wajar adanya perbedaan putusan terkait masa hukuman seseorang di peradilan tingkat pertama dengan di MA.
Untuk di peradilan tingkat pertama, dia menjelaskan, majelis hakim mengadili berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan atau "Judex Facti". "Judex Facti" adalah memeriksa bukti-bukti dari suatu perkara dan menentukan fakta-fakta dari perkara.
"Sehingga hakim mengadili berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan. Demikian juga pengadilan tingkat banding masih disebut Judex Facti, karena daaarnya adalah fakta," kata dia.
Adapun, kata dia, di tingkat MA, adalah "Judex Juris". "Judex Juris" hanya memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara, dan tidak memeriksa fakta dari perkaranya.
"Nah perbedaan inilah yang dinilai terdapat disparitas. Seolah-olah yang pertama adalah tinggi kemudian dikurangi rendah," tambahnya.
MA berwenang memutus permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan.
Setelah merasa tidak mendapatkan keringanan hukuman di pengadilan tingkat pertama, para koruptor mencoba peruntungan dengan cara mengajukan permohonan kasasi di MA.
Hasilnya, mereka mendapatkan pengurangan masa hukuman.
Berikut daftar koruptor yang hukumannya dikorting oleh MA pada 2019 :
M. Sanusi
MA mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) mantan anggota DPRD DKI Jakarta, Muhammad Sanusi. Sehingga, Sanusi akan menjalani hukuman pidana selama 7 tahun penjara.
M Sanusi terbukti menerima suap Rp 2 Miliar dari bos Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja. Uang terkait pembahasan Raperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara (RTRKSP) Jakarta di Badan Legislatif Daerah DPRD DKI Jakarta.
Berikut daftar koruptor yang hukumannya dikorting oleh MA pada 2019 :
M. Sanusi
MA mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) mantan anggota DPRD DKI Jakarta, Muhammad Sanusi. Sehingga, Sanusi akan menjalani hukuman pidana selama 7 tahun penjara.
M Sanusi terbukti menerima suap Rp 2 Miliar dari bos Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja. Uang terkait pembahasan Raperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara (RTRKSP) Jakarta di Badan Legislatif Daerah DPRD DKI Jakarta.
Di pengadilan tingkat pertama, M Sanusi dijatuhi hukuman 7 tahun penjara. Jaksa Penuntut Umum tidak terima dan mengajukan banding. Sehingga, Hukuman diperberat menjadi 10 tahun penjara. Namun, Sanusi mengajukan PK ke MA yang akhirnya memutuskan akan menjalani hukuman selama 7 tahun penjara.
Irman Gusman
MA mengabulkan upaya hukum PK terpidana kasus suap impor gula Irman Gusman. Mantan Ketua DPD itu akan menjalani hukuman selama 3 tahun penjara denda Rp50 juta subsider 1 bulan kurungan. Duduk sebagai majelis hakim, yaitu Suhadi, Eddy Army dan Abdul Latief.
Irman Gusman terbukti korupsi mengurus impor gula. Irman dinilai terbukti menerima suap dari Direktur CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto dan Memi.
Di pengadilan tingkat pertama, Irman Gusman dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara.
Patrialis Akbar
MA mengabulkan upaya hukum PK Patrialis Akbar. Mantan hakim Mahkamah Konstitusi itu akan menjalani hukuman selama tujuh tahun penjara.
Patrialis terbukti menerima suap dari pengusaha impor daging, Basuki Hariman dan stafnya Ng Fenny. Uang tersebut diberikan agar Patrialis membantu memenangkan putusan perkara Nomor 129/PUU-XIII/2015 terkait uji materi atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Di pengadilan tingkat pertama, Patrialis divonis delapan tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan. Selain itu, majelis hakim menjatuhkan hukuman tambahan berupa uang pengganti Rp 10.000 dollar AS dan Rp 4.043.000, atau sama dengan jumlah suap yang diterima.
Choel Mallarangeng
MA mengabulkan peninjauan kembali (PK) Andi Zulkarnaen Mallarangeng alias Choel Mallarangeng. Choel akan menjalani hukuman selama tiga tahun penjara.
Adik mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Mallarangeng itu terjerat kasus korupsi proyek Wisma Atlet Hambalang.
Di pengadilan tingkat pertama, Choel dijatuhkan hukuman 3,5 tahun penjara.
Tarmizi
MA mengabulkan permohonan PK yang diajukan Tarmizi, mantan panitera pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dia akan menjalani hukuman selama tiga tahun dan denda Rp 50 juta subsider satu bulan.
Dia terbukti menerima suap dari pengusaha Dirut PT Aquamarine Divindo Inspection, Yunus Nafik, lewat pengacara Ahmad Zaini.
Di pengadilan tingkat pertama, majelis hakim menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsidar 1 bulan. Atas vonis itu, Tarmizi menerima dan tidak banding atau kasasi.
Tamin Sukardi
MA mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan pengusaha Tamin Sukardi.
MA memutuskan memotong hukuman Tamin menjadi 5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara.
Tamin Sukardi terbukti menyuap hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Medan, Mery Purba. Upaya suap dilakukan agar divonis bebas di tingkat pertama.
Di pengadilan tingkat pertama, Tamin divonis enam tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan.
Idrus Marham
MA mengabulkan kasasi yang diajukan mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham terkait kasus korupsi PLTU Riau-1. Mantan Menteri Sosial itu dikurangi masa hukuman dari lima tahun menjadi dua tahun penjara.
Idrus dinyatakan bersalah menerima suap Rp2,25 miliar dari pengusaha Johanes Kotjo terkait proyek PLTU Riau-1.
Di pengadilan tingkat pertama, Idrus divonis 3 tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider 2 bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Hukumannya kemudian diperberat di Pengadilan Tinggi Jakarta menjadi 5 tahun penjara. Idrus kemudian mengajukan kasasi ke MA.
Lucas
MA mengabulkan kasasi yang diajukan advokat Lucas. Lucas akan menjalani hukuman pidana selama tiga tahun penjara.
Lucas diproses hukum karena menghalang-halangi penyidikan KPK atas kasus 'dagang perkara' mantan Presiden Komisaris Lippo Eddy Sindoro.
Hukumannya kemudian diperberat di Pengadilan Tinggi Jakarta menjadi 5 tahun penjara. Idrus kemudian mengajukan kasasi ke MA.
Lucas
MA mengabulkan kasasi yang diajukan advokat Lucas. Lucas akan menjalani hukuman pidana selama tiga tahun penjara.
Lucas diproses hukum karena menghalang-halangi penyidikan KPK atas kasus 'dagang perkara' mantan Presiden Komisaris Lippo Eddy Sindoro.
Di pengadilan tingkat pertama, Lucas divonis tujuh tahun penjara dan denda Rp 600 juta.
Frederick S.T Siahaan
MA mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh mantan Direktur Keuangan PT Pertamina Frederick ST Siahaan. MA memutus bebas Frederick.
Frederick merupakan terdakwa kasus dugaan korupsi terkait investasi dalam Participating Interest (PI) atas Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia tahun 2009.
Di pengadilan tingkat pertama, Frederick divonis bersalah dan dihukum pidana 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan
Syafruddin Arsyad Temenggung
MA mengabulkan kasasi yang diajukan Syafruddin Arsyad Temenggung, terdakwa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). MA membebaskan Syafruddin dari jerat hukum.
Syafruddin mengajukan kasasi setelah Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukuman menjadi 15 tahun penjara dari vonis 13 tahun penjara.
Syafruddin Arsyad Temenggung
MA mengabulkan kasasi yang diajukan Syafruddin Arsyad Temenggung, terdakwa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). MA membebaskan Syafruddin dari jerat hukum.
Syafruddin mengajukan kasasi setelah Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukuman menjadi 15 tahun penjara dari vonis 13 tahun penjara.
Di pengadilan tingkat pertama, Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu dianggap terbukti merugikan negara sekitar Rp 4,58 triliun terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
Mengenai adanya sejumlah pengurangan masa hukuman kepada koruptor, Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA), Abdullah, menegaskan komitmen MA melakukan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
"Jadi MA tetap komitmen melakukan tindak pemberantasan korupsi mulai dari dirinya sendiri," kata dia, dalam sesi jumpa pers di kantor MA, Jakarta Pusat, Selasa (17/12/2019).
Dia meminta semua pihak secara menyeluruh melihat putusan perkara di tingkat MA.
"Kalau bicara keadilan emang ini kualitatif tidak bisa dimasukan kuantitatif semata. Masuk ke masalah keadilan, tentunya majelis hakim telah mempertimbangkan sunggh-sungguh sesuai tingkatan," ujarnya.
Dia memandang sebagai hal wajar adanya perbedaan putusan terkait masa hukuman seseorang di peradilan tingkat pertama dengan di MA.
Untuk di peradilan tingkat pertama, dia menjelaskan, majelis hakim mengadili berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan atau "Judex Facti". "Judex Facti" adalah memeriksa bukti-bukti dari suatu perkara dan menentukan fakta-fakta dari perkara.
"Sehingga hakim mengadili berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan. Demikian juga pengadilan tingkat banding masih disebut Judex Facti, karena daaarnya adalah fakta," kata dia.
Adapun, kata dia, di tingkat MA, adalah "Judex Juris". "Judex Juris" hanya memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara, dan tidak memeriksa fakta dari perkaranya.
"Nah perbedaan inilah yang dinilai terdapat disparitas. Seolah-olah yang pertama adalah tinggi kemudian dikurangi rendah," tambahnya.