TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah mewacanakan perubahan gaji pegawai dari per bulan menjadi per jam.
Dengan skema gaji per bulan, maka karyawan bisa memiliki gaji tetap yang sama meski memiliki jumlah masuk kerja yang berbeda.
Sedangkan jika penggajian dihitung per jam, tenaga kerja mendapat gaji sesuai jumlah jam kerjanya.
Sistem pengupahan akan diatur dalam RUU Omnibus Law.
Selain sistem penggajian, RUU Omnibus Law juga membahas tentang rekrutmen dan pemutusah hubungan kerja (PHK).
Didukung Apindo
Wacana pemerintah mengubah gaji per bulan menjadi gaji per jam mendapat respons positif dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Dilansir Kompas.com, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani mendukung wacana tersebut.
"Saya rasa bagus sih karena lebih fleksibel. Sekarang trennya apalagi anak muda kalau kerja hitungannya per jam," kata Hariyadi, Kamis (27/12/2019).
Hariyadi menyebut sistem pengupahan per jam membuat gaji tetap bulanan tidak lagi menarik.
"Mereka enggak perlu dalam satu hari harus kaku 8 jam," ujarnya.
Yang paling penting menurutnya adalah jumlah kerja yang disepakati.
"Yang paling pentingkan jumlah jam kerja yang disepakati itu berapa," jelasnya.
Hariyadi menilai sistem gaji per jam memberikan keuntungan bagi pihak perusahaan dan pihak pegawai.
Hariyadi pun mengungkapkan pihaknya siap jika perubahan tersebut diberlakukan.
"Ya siap lah, kalau kita enggak ada masalah. Dan itu sudah biasa di negara lain juga melakukan hal yang sama. Itu juga bagus ke pekerjanya jadi dia bisa lebih fleksibel," katanya.
Sementara terkait dengan nominal penggajian, Hariyadi menyebut hal itu bergantung pada kebijakan perusahaan.
Karena masih rancangan, Hariyadi mengungkapkan terkait patokan nominal memiliki parameter yang banyak.
"Kalau untuk saran nominal itu nanti kesepakatannya. Ada patokan yang nanti akan ditetapkan dan proporsional dari situ. Apakah upah minimumnya atau upah di perusahaan itu, secara rata-rata. Jadi parameternya banyak," ungkapnya.
Pendapat Menteri Ketenagakerjaan
Sementara itu, kajian tengah dilakukan pemerintah terkait berbagai macam aturan tentang ketenagakerjaan.
Antara lain seperti fleksibilitas jam kerja hingga proses rekrutmen maupun PHK, yang diatur dalam RUU Omnibus Law.
Selain itu, sistem pengupahan yang menjadi bahasan dan perdebatan tiap tahunnya.
Maka dari itu alternatif sistem pengupahan berdasarkan prinsip fleksibilitas tengah dibahas pemerintah.
Dilansir Kompas.com, target penyerahan omnibus law ke DPR yang tadinya bakal dilakukan pada akhir tahun ini pun molor jadi paling lambat awal tahun depan.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyebut alotnya pembahasan omnibus law yakni karena sulitnya mempertemukan kepentingan pengusaha dan buruh atau tenaga kerja.
"Memang tidak gampang, butuh waktu, pasti mempertemukan antara kepentingan pengusaha dan tenaga kerja itu bukan hal yang gampang," ujar Ida, Rabu (25/12/2018).
Kajian yang dilakukan di antaranya mengenai upah berdasarkan jam.
Diketahui, skema pengupahan per jam sebenarnya sudah lumrah dilakukan di negara-negara maju.
Kementerian Ketenagakerjaan disebut Ida tengah melakukan inventarisasi dan mendengarkan masukan dari buruh dan dunia usaha.
Termasuk kaitannya dalam hal upah minimum dan pesangon.
Ida juga menyebut proses inventarisasi pendapat juga tengah dilakukan pihaknya dalam kegiatan easy hiring dan easy firing yang sempat disebut oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
"Kami masih dalam proses menginventarisir dan mendengar," ujar Ida.
Airlangga Hartarto Sebut Belum Final
Sebelumnya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto melalui omnibus law ketenagakerjaan pemerintah akan merevisi beberapa beberapa aturan.
Antara lain mengenai gaji dan pesangon, prinsip easy hiring dan easy firing, hingga kemudahan merekrut tenaga kerja asing.
Selain itu, omnibus juga akan mengatur fleksibilitas jam kerja.
"Ini masih dibahas Kemenaker, belum final. Termasuk dengan upah, tapi pembahasan belum final," ujar dia.
Politisi Golkar tersebut juga mengungkapkan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja baru akan diajukan kepada DPR pada Januari 2020 mendatang.
"Tentunya beberapa hal yang sudah dibahas isi hiring dan isi firing terkait dengan tenaga kerja asing terutama mengenai perizinin agar tenaga kerja ekspatriat itu bisa masuk tanpa birokrasi yang panjang," kata Airlangga.
Airlangga juga menyebut pihaknya masih membahas sejumlah aturan.
Antara lain terkait definisi jam kerja, pembedaan fasilitas antara UMKM yang basisnya adalah kesepakatan kerja dengan hak-hak yang dijamin.
"Kemudian terakhir yang dibahas adalah jenis-jenis pengupahannya dimungkinkan berbasis perhitungan jam kerja atau perhitungan harian. Itu yang kami bahas," ucap dia.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jokowi Wacanakan Gaji Bulanan Diganti Upah Per Jam, Setuju?"
(TRIBUNNEWS.COM/Wahyu Gilang P) (Kompas.com/Kiki Safitri/Muhammad Idris)