TRIBUNNEWS.COM - Peneliti Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi) Fadli Ramadhanil turut menanggapi kabar Komisioner KPU, Wahyu Setiawan yang ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan pada Rabu (8/1/2020).
Fadli mengungkapkan bahwa Perludem merasa kecewa atas terjadinya hal ini.
Ia bahkan menuturkan tertangkapnya Wahyu oleh KPK karena dugaan transaksi suap ini menjadi tamparan keras untuk demokrasi Indonesia.
Pernyataan ini ia sampaikan dalam program 'Primetime News', unggahan kanal YouTube metrotvnews, Jumat (10/1/2020).
"Kami tentu saja kecewa dan bersedih karena kejadian ini yakni adanya dugaan praktik suap yang terjadi antara komisioner KPU Pak WS (Wahyu Setiawan) dengan satu di antara kader politik, dugaannya seperti itu," ujarnya.
"Tentu saja ini membuktikan bahwa ada yang salah dengan praktik penyelenggaraan Pemilu kita," imbuhnya.
Tak hanya menampar demokrasi Indonesia, Fadli juga menuturkan kasus ini juga menjadi tamparan keras terhadap KPU.
Fadli menilai seharusnya sebagai penyelengara Pemilu, Wahyu dapat menjaga marwah KPU dengan baik.
"Di mana seorang penyelenggara Pemilu yang harusnya menjaga integritas, indepedensinya dan memastikan profesionalitasnya bekerja dengan baik," ujarnya.
"Ini malah justru kemudian terlibat kongkalingkong, praktik suap dengan peserta Pemilu," imbuhnya.
"Sesuatu yang seharusnya tidak boleh terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu," tambahnya.
"Dan tentu ini menjadi tamparan yang sangat keras bagi lembaga institusi, Pemilu dan juga demokrasi di Indonesia," tegasnya.
Peneliti Perludem ini menuturkan kasus ini harus jadi pembelajaran yang sangat penting bagi KPU.
"Ini juga bisa menajadi pintu masuk untuk mengungkap apakah praktik ini terjadi dalam suatu kelemahan sistem pencegahan dan penjagaan integritas di internal KPU," jelas Fadli.
Fadli juga sangat menyayangkan adanya praktik suap yang dilakukan Komisioner KPU ini.
Kararena sebagai cerminan bagi penyelenggara Pemilu di daerah-daerah seharusnya Komisioner KPU RI ini dapat menjaga integritas dan profesionalitasnya.
"Kami tahu Pak Wahyu adalah komisioner KPU RI, yang tentu dia adalah cerminan dan rujukan bagi penyelenggara Pemilu di daerah untuk menjaga integritas dan profesionalitasnya," kata Fadli.
"Apalagi tidak boleh tentu menerima suap karena itu telah melanggar sumpah jabatannya sebagai penyelenggara Pemilu," imbuhnya.
Diketahui Komisioner KPU Wahyu Setiawan terjaring OTT KPK pada Rabu (8/1/2020).
Hal ini terkait dengan adanya dugaan praktik suap antara Wahyu Setiawan dengan satu diantara kader politik.
Usai OTT terhadap Wahyu, KPK langsung melakukan penyidikan.
Sejalan dengan penyidikan, KPK telah menetapkan sejumlah tersangka yang terlibat dalam praktik suap ini.
Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar.
"Sejalan dengan penyidikan tersebut, KPK menetapkan 4 orang tersangka," kata Lili yang dikutip dari Kompas.com.
Adapun empat nama tersebut yakni Wahyu Setiawan sebagai penerima suap serta anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Agustiani Tio Fridelina.
Dimana ia adalah orang kepercayaan Wahyu Setiawan.
Lili juga menyebutkan dua nama terakhir yang berperan sebagai pemberi suap.
Diantaranya politisi PDIP Harun Masiku dan pihak swasta bernama Saeful.
Sementara itu, usai ditetapkan sbagi tersangka, Wahyu resmi ditahan di Rutan Cabang KPK pada Jumat (10/11/2020) dini hari.
Diberitakan Tribunnews.com, Wahyu akan ditahan untuk 20 hari kedepan.
Saat ditemui awak media di Gedung KPK, Wahyu sempat menyampaikan permohonan maafnya kepada seluruh masyarakat Indonesia, KPU dan KPK.
"Pertama saya menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh rakyat Indonesia, kepada Ketua KPU RI, dan kepada seluruh jajaran KPU se-Indonesia," kata Wahyu.
Wahyu mengaku masalah ini adalah murni masalah pribadinya.
Ia juga menuturkan akan menghormati proses hukum yang tengah dilakukan oleh KPK.
Sementara itu, Wahyu juga berencana untuk melakukan upaya hukum seperti praperadilan.
"Insyaallah sebagai warga negara saya akan menghormati hukum." kata Wahyu.
"Dan saya juga akan melakukan upaya-upaya sebagaimana mestinya," imbuhnya. (*)
(Tribunnews.com/Isnaya Helmi Rahma/Nanda Lusiana Saputri, Kompas.com/Devina Halim)