TRIBUNNEWS.COM - Kasus dugaan korupsi yang dilakukan kader PDI Perjuangan (PDIP), Harun Masiku, masih menjadi polemik.
Harun Masiku yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini masih menjadi buron lembaga antirasuah.
Seperti dkabarkan, KPK meminta Harun Masiku untuk menyerahkan diri.
Ia diduga memberi suap kepada Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, yang sudah terlebih dahulu ditangkap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK.
Keduanya menjadi tersangka dari total empat tersangka yang ditetapkan KPK dalam kasus suap Pergantian Antar Waktu (PAW) caleg anggota DPR RI.
Keempatnya diduga terlibat persengkongkolan antara oknum penyelenggara Pemilu dengan politisi.
"Dapat disebut sebagai pengkhianatan terhadap proses demokrasi yang dibangun dengan susah payah dan biaya yang mahal," tegas Komisioner KPK Lili Pintauli Siregar dalam konferensi pers kasus disiarkan langsung Kompas TV.
Adapun kabar dari kasus tersebut, Harun Masiku belum diketahui keberadaannya.
Di sisi lain, publik dihebohkan dengan narasi surat tanda tangan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri dan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto.
Ini fakta yang dirangkum Tribunnews.com dari berbagai sumber.
1. Harun Masiku buron
Dikutip dari Kompas TV, Harun ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus persengkongkolan antara oknum penyelenggara Pemilu dengan politisi berupa Pergantgian Antar Waktu (PAW) caleg DPR RI.
Penyelidikan KPK, Harun Masiku berperan sebagai pemberi suap untuk Wahyu Setiawan, Komisioner KPU.
"WSE (Wahyu Setiawan) dan ATF (Agustiani Tio Fridelina) sebagai penerima suap, HAR (Harun Masiku) dan SAE (Saeful) sebagai pemberi suap," ujar Lili didampingi Ketua KPU, Arief Budiman.
Lantas, KPK sekaligus meminta agar Harun Masiku menyerahkan diri.
"KPK meminta tersangka HAR (Harun Masiku) segera menyerahkan diri ke KPK," kata Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar.
2. PDIP ikut buru Harun Masiku
Ketua Bidang Kehormatan PDI Perjuangan, Komarudin Watubun meminta kader partainya, Harun Masiku segera menyerahkan diri usai ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas kasus suap komisioner KPU.
Ia mengatakan PDIP bersama KPK akan mencari tahu keberadaan Harun Masiku.
"Harus dicari, dicari sama-sama. Dan kami minta Pak Harun untuk menyerahkan diri," ucap Komarudin di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Sabtu (11/1/2020).
Menurutnya, yang paling bertanggung jawab mencari Harun Masiku adalah KPK karena sudah masuk ranah hukum.
"Yang paling bertanggung jawab mencari KPK lah," ujar Komarudin.
Lebih lanjut Komarudin mengakui tidak terlalu mengenal sosok Harun.
Ia baru mengetahui nama Harun ketika maju sebagai calon legislatif PDIP pada Pileg 2019 lalu.
"Saya sendiri baru dengar itu, kemarin katanya baru masuk juga di calon partai," katanya.
Anggota Komisi II DPR ini mengingatkan siapapun kader PDIP yang memang tertangkap tangan KPK, maka keanggotaannya di dalam partai dicabut dan langsung dipecat.
"Kita dari dulu yang namanya sudah protap PDIP, kalau yang tertangkap OTT, kan berapa yang pernah terjadi beberapa waktu lalu. OTT itu kan langsung keanggotaannya dicabut, otomatis keanggotaannya kita pecat," ujarnya.
3. Belum dicegah ke luar negeri
Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan belum mencegah caleg PDIP Harun Masiku ke luar negeri hingga saat ini.
Harun adalah tersangka penyuap eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan yang masih buron.
"Sejauh ini belum [upaya pencegahan]," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi, Sabtu (11/1/2020).
Akan tetapi, kata Ali, KPK segera mengirimkan surat permohonan ke Direktorat Jenderal Imigrasi untuk mencegah Harun.
"Namun sesuai kewenangan KPK di undang-undang, akan segera dilakukan [pencegahan]," katanya.
Lanjut Ali, sampai hari ini KPK masih terus mencari keberadaan Harun.
KPK meminta Harun segera menyerahkan diri dan mengimbau kepada pihak lain yang terkait dengan perkara ini agar bersikap kooperatif.
"Bersikap kooperatif kepada KPK tidak hanya akan membantu penyidik menyelesaikan perkara lebih cepat, tetapi juga akan memberikan kesempatan yang bersangkutan untuk menjelaskan terkait perkara tersebut," kata Ali.
Dalam perkara ini, KPK menetapkan Harun bersama pihak swasta, Saefulah sebagai tersangka pemberi suap. Mereka diduga memberikan janji suap kepada Wahyu Setiawan Rp900 juta untuk memuluskan langkahnya menjadi anggota DPR lewat jalur pergantian antar waktu (PAW).
Perkara bermula pada awal Juli 2019, salah satu pengurus DPP PDIP memerintahkan Doni, seorang pengacara dan caleg PDIP dari Jawa Timur, mengajukan gugatan uji materi pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 2019 tentang Pemungutan Perhitungan Suara ke Mahkamah Agung (MA).
Pengajuan ini terkait dengan meninggalnya caleg PDIP dari Sumatera Selatan, Nazarudin Kiemas, pada Maret 2019. PDIP ingin suara Nazarudin, sebagai pemenang Pileg, masuk kepada Harun Masiku.
Setelah gugatan dikabulkan, PDIP mengirim surat ke KPU untuk menetapkan Harun Masiku.
Tapi, KPU tetap menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin.
Pada 13 September 2019, PDIP kembali mengajukan permohonan fatwa ke MA. Kemudian, PDIP juga mengirim surat penetapan caleg ke KPU pada 23 September 2019.
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengatakan untuk membantu penetapan Harun, Wahyu memint
4. Ketua KPU ungkap surat PDIP
Diberitakan Kompas.com, Ketua KPU Arief Budiman mengungkap ada tiga surat dari PDI-P untuk KPU.
Menurut Arief, surat itu terkait permohonan agar caleg PDI-P Harun Masiku ditetapkan sebagai pengganti antar waktu (PAW) untuk Nazarudin Kiemas.
"Jadi KPU menerima surat dari DPP PDI Perjuangan sebanyak tiga kali. Surat pertama, terkait putusan atau permohonan pelaksanaan putusan Mahkamah Agung , (surat ini) tertanggal 26 Agustus 2019," ujar Arief saat jumpa pers di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (10/1/2020).
Arief menjelaskan, surat pertama merupakan permohonan pelaksanaan putusan MA yang ditandatangani Ketua Bapilu Bambang Wuryanto dan Sekjen Hasto Kristiyanto.
Selanjutnya, surat kedua merupakan tembusan perihal permohonan fatwa terhadap putusan MA Nomor 57.P/HUM/2019 tertanggal 19 Juli 2019 ditandatangani Ketua DPP Yasonna Hamonangan Laoly dan SekjenHasto Kristiyanto.
Surat ketiga, tertanggal 6 Desember 2019 ditandatangani Ketua Umum Megawati Soekarnoputri dan Sekjen Hasto Kristiyanto.
Karena surat ketiga ditujukan ke KPU, maka KPU menjawab pada 7 Januari 2020, Arief mengatakan KPU tak dapat melaksanakan putusan MA.
"Yang isinya (surat balasan) kurang lebih sama dengan balasan untuk surat pertama (tidak bisa menjalankan)," ujar dia.
5. Penjelasan PDIP soal surat ke KPU
Masih dari Kompas.com, Ketua Bidang Kehormatan DPP PDI-P Komarudin Watubun menjelaskan soal surat dari PDI-P untuk KPU yang ditandatangani Ketua Umum Megawati Soekarno Putri dan Sekjen Hasto Kristiyanto.
Komarudin mengatakan ketiga surat tersebut merupakan permohonan PDI-P kepada KPU terkait gugatan uji materil PKPU No 3/2019 ke Mahkamah Agung (MA).
Gugatan itu diajukan Mega dan Hasto dengan memberikan kuasa kepada pengacara Donny Tri Istiqomah.
Lewat gugatan uji materil itu, PDI-P meminta agar suara calon legislatif yang telah meninggal dunia dialihkan dan diperhitungkan menjadi suara partai.
Selanjutnya, berdasarkan putusan No 57.P/HUM/2019, MA mengeluarkan fatwa yang menyatakan perolehan suara terbanyak caleg menjadi diskresi parpol untuk menentukan kader terbaik sebagai pengganti caleg terpilih yang meninggal dunia.
"Surat itu keluar atas keputusan MA. Bahwa ada ruang di sana untuk lakukan pergantian, makanya Ibu (Megawati) tanda tangan di situ. Itu normatif saja sebagai ketua umum dan sekjen," kata Komarudin di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Sabtu (11/1/2020).
Namun, menurut Komarudin KPU tak melaksanakan fatwa MA itu. KPU menetapkan Riezky Aprilia menjadi mengganti Nazarudin Kiemas sebagai anggota DPR RI yang meninggal pada Maret 2019 sebelum gelaran Pileg.
"Tapi kemudian oleh KPU tidak terima surat itu, makanya dilaksanakan sekarang Aprilia itu sudah dilantik jadi anggota DPR," terangnya.
(Tribunnews.com/Chrysnha, Chaerul Umam, Ilham Rian Pratama /KompasTV/Kompas.com/Tsarina Maharani)