TRIBUNNEWS.COM - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2011-2015, Abraham Samad, melontrakan kritik terhadap keberadaan Dewan Pengawas KPK saat ini.
Menurut Abraham Samad, kehadiran Dewas KPK dianggap menghambat proses penyelidikan hingga penyidikan yang dilakukan KPK untuk kasus korupsi.
Bahkan disebutnya, revisi Undang-Undang (UU) KPK yang baru telah mengakhiri kejayaan KPK.
Lantaran dianggapnya lagi, kinerja penyidik KPK saat ini terbatas oleh mekanisme Dewas KPK.
Seperti halnya hendak melakukan penggeledahan di tubuh partai politik.
Demikian ia ungkapkan dalam siaran Mata Najwa di Trans7 kemarin Rabu (15/1/2020) malam.
Dampak Revisi UU KPK?
Najwa Shihab, pembawa acara Mata Najwa malam itu, membawakan tema acara bertajuk Menakar Nyali KPK.
Ia menyoroti mengenai lemahnya aksi KPK saat ini melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk mengungkapn sebuah kasus.
Seperti halnya polemik penggeledahan KPK di tubuh partai politik, misalnya dalam kasus OTT KPK terhadap Komisioner KPU, Wahyu Setiawan melibatkan politisi PDIP, Harun Masiku.
"Penggeledahan malah dinyatakan pekan depan, hal strategis bisa bisanya malah diumumkan duluan.
Benarkah ini dampak revisi Undang-Undang KPK?
Masih adakah nyali di hdapan orang-orang berkuasa?" ucapnya.
Mantan Ketua KPK Abraham Samad memberikan tanggapannya terhadap kejayaan KPK saat ini dan dahulu.
Yang pertama, Abraham Samad menggarisbawahi mengenai aksi penggeledahan KPK.
Dia menegaskan, penggeledahan di tubuh partai politik adalah hal biasa.
"Di masa lalu kita menggeledah PKS, Demokrat, dan PPP waktu pak Suryadharma Ali, hal yang biasa, seperti kantor-kantor lain," kata dia.
"Kenapa menjadi polemik dan menjadi luar biasa? Karena ini buah dari produk Undang-Undang hasil revisi yang menurut saya mengakhiri hidup KPK di masa lalu," terang Abraham Samad.
Samad menyebut bahwa kejayaan KPK tinggal sejarah.
"Tinggal kita kenang saja, buktinya kita bisa lihat yang terjadi sekarang," paparnya.
Samad juga menyoroti hal lain yang terjadi di tubuh KPK saat ini.
Yakni mengenai mekanisme penyelidikan dan penyidikan kasus melibatkan Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Karena baginya, kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) bukan kasus instan tanpa persiapan matang.
Kasus OTT, lanjutnya, dilakukan KPK melalui proses panjang.
"Saya mau mengatakan begini, ketika sebuah kasus OTT sudah dijalankan, berrati semua prasyarat administrasi dan hukum sudah selesai, tidak masalah," jelasnya.
Pernyataannya itu kemudian dibantah oleh Ketua Dewan Pengawas KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean.
Tumpak menyatakan bahwa peraturan yang saat ini berbeda dengan aturan terdahulu.
"Tapi dulu, dulu penyitaan itu tak perlu izin, dalam hal mendesak boleh lakukan dulu," katanya.
"Undang-Undang yang sekarang ini tidak lagi bercerita, sebelum melakukan itu (penyitaan) izin dulu, izin tertulis lagi," tambah dia.
"Maka itu Undang-Undang (KPK) semakin meyakinkan kita dan membuktikan bahwa UU itu semakin melemahkan pemberantasan korupsi," sahut Abraham Samad disambut tepuk tangan penonton.
Ini videonya:
Seperti diketahui, UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK mengatur bahwa kegiatan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan, harus seizin Dewan Pengawas KPK.
Dalam UU tersebut diatur pula bahwa Dewan Pengawas dapat memberikan izin tertulis paling lama 1x24 jam terhitung sejak permintaan diajukan oleh pimpinan KPK.
Aturan ini yang kemudian dinilai menjadi penghambat kerja penyidikan KPK, khususnya dalam kasus yang menjerat Komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Diberitakan Kompas.com, rumah dinas dan ruang kerja Wahyu baru digeledah pada Senin (13/1/2020) kemarin.
Padahal, Wahyu sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak Kamis (9/1/2020) dan ditangkap pada Rabu (8/1/2020).
Sejumlah pihak khawatir lambatnya penggeledahan ini dapat membuat barang bukti yang diperlukan lenyap atau rusak sebelum penggeledahan dilakukan.
(Tribunnews.com/Chrysnha/Kompas.com/Ardito Ramadhan)