TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Agung ST Burhanuddin dinilai tidak sensitif terhadap dugaan praktik kriminalisasi terhadap jaksa.
Dia dinilai belum bisa membedakan mana kasus kriminalisasi dan kasus murni korupsi di korps Adhyaksa.
"Untuk kasus Chuck Suryosumpeno, Jaksa Agung dan Jampidsus harus bisa menunjukkan di titik mana kasus itu dianggap keberhasilan. Jika dianggap sukses menghukum kasus korupsi, lalu bagaimana dampak dari penanganan aset ke depannya?," kata Haris Azhar, Direktur Eksekutif Lokataru menanggapi pemaparan Jaksa Agung pada Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR RI di Jakarta, Kamis 16 Januari 2020.
Haris menilai, kasus Chuck adalah murni kriminalisasi bermuatan ambisi jabatan.
Menurut Haris Azhar, Chuck mengalami hal demikian lantaran dia tidak bersedia diajak bekerja sama mengalihkan aset negara menjadi aset pribadi dan partai.
"Jika kasus Chuck dianggap layak dan sukses oleh Jaksa Agung dan Jampidsus, lalu apa bedanya Burhanuddin dengan Prasetyo?," ujarnya.
Baca: Jaksa Agung ST Burhanuddin Sebut Tragedi Semanggi I dan II Bukan Pelanggaran HAM Berat
Haris Azhar juga mempertanyakan kasus tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang menyeret pemilik PT Trans Pasific Petrocemical Indotama (TPPI) Honggo Wendratno yang hingga kini belum maju ke persidangan.
Baca: Rapat Komisi III DPR dengan Jaksa Agung Berakhir Tanpa Kesimpulan
Selain kasus Chuck, Haris juga menyayangkan sikap jaksa agung yang menilai peristiwa Trisakti dan Semanggi bukan kategori pelanggaran HAM Berat.
"Jaksa Agung harus ambil teleskop untuk baca hasil penyelidikan Komnas HAM dan UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM," kata dia.
"Sudah jelas bahwa peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 & 2 adalah kasus Pelanggaran HAM berat. Bahkan ada 9 kasus lagi. Semua menggantung di Kejaksaan Agung."
"Kalau ada hambatan tersebut sebaiknya Jaksa Agung mengakui saja, dan lapor Presiden," tegasnya.