TRIBUNNEWS.COM - Ketua Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tumpak Panggabean meminta semua pihak untuk tak buru-buru mengatakan KPK sudah mati.
Pernyataan tersebut disampaikan Tumpak dalam acara Mata Najwa Trans7 yang diunggah di kanal YouTube Najwa Shihab, Kamis (16/1/2020).
"Kalau saya bilang jangan buru-buru lah mengatakan KPK itu sudah mati."
"Mati suri, tak berdaya, tak bertaji. Saya rasa nggak tepat juga ini," ujar Tumpak.
Lebih lanjut, Tumpak menjelaskan bawha, Dewas punya kewenangan untuk mengevaluasi kinerja pimpinan dan kinerja pengawai KPK.
Namun, evaluasi tersebut dilakukan setiap satu tahun sekali.
Untuk itu, Tumpak meminta semua pihak untuk memberikan kesempatan deas melakukan evaluasi atas kinerja KPK.
"Diberikan lah kesempatan satu tahun ini untuk kita lakukan evaluasi kinerjanya," tegas Tumpak.
Abraham Samad menyahut
Mendengar pernyataan itu, Mantan Ketua KPK Periode 2011-2015, Abraham Samad lantas menyaut.
"Keburu Korupsinya semakin besar," terang Samad yang diikuti sorakan dan tepuk tangan dari penonton.
Tak menunggu lama, Tumpak lantas menanggapi pernyataan Samad tersebut.
"Tidak, saya yakin tidak," tegas Tumpak.
Tumpak juga menegaskan bahwa, keberadaan dewas tidak akan mempersulit penanganan perkara di KPK.
Diberitakan sebelumya, belakangan KPK menjadi sorotan publik.
Pasalnya, KPK gagal melakukan penggeledahan dan penyegelan di kantor DPP PDI-P.
Hal tersebut terkait dengan pengembangan kasus dugaan suap yang melibatkan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan.
Wahyu Setiawan diduga menerima suap dari politisi PDI-P, Harun Masiku dalam kasus pergantian antar waktu (PAW) PDI-P.
KPK menyebut bahwa, Wahyu Setiawan menerima uang senilai Rp 600 juta dari Harun Masiku dan sumber dana lainnya yang belum diketahui identitasnya.
Sementara itu, Wahyu Setiawan disebut menerima uang operasional sebesar Rp 900 juta untuk memuluskan niat Haruns Masiku.
Abraham Samad Nilai Kejayaan KPK Tinggal Sejarah
Abraham Samad menilai, masa kejayaan KPK kini hanya tinggal sejarah.
Hal tersebut terjadi lantaran berlakunya UU KPK baru yang menurutnya melemahkan pemberantasan korupsi.
Menurut Samad, kini proses penggeledahan di sebuah kantor partai politik menjadi hal yang luar biasa.
Padahal, di masanya ketika menjabat sebagai Ketua KPK, penggeledahan kantor partai politik menurut Samad adalah hal yang biasa.
Samad lalu menyinggung soal penggeledahan yang ia lakukan saat menggeledah kantor Partai Keadilan Sejahtera, Demokrat dan PPP.
"Itu hal yang biasa-biasa saja, seperti kantor-kantor yang lain," ujar Samad.
Samad menuturkan, jika pada akhirnya saat ini penggeledahan menjadi sebuah polemik dan menjadi hal luar biasa, itu karena hasil dari Revisi UU KPK.
"Makanya saya menganggap kalau hari ini menjadi polemik dan kenapa menjadi luar biasa?"
"Karena ini buah dari produk dari UU hasil revisi, yang menurut saya mengakhiri hidup KPK di masa lalu," terang Samad.
Samad menegaskan, kejayaan KPK kini hanya tinggal sejarah.
"Jadi kejayaan KPK tinggal sejarah, tinggal kita kenang saja, begitu UU baru di diundangkan selesai sudah KPK itu," ungkapnya.
"Buktinya bisa kita lihat apa yang terjadi sekarang," tambahnya.
(Tribunnews.com/Nanda Lusiana Saputri)