TRIBUNNEWS.COM - Pendiri Kesultanan Selaco alias Selacau Tunggul Rahayu di Kecamatan Parung Ponteng, Raden Rohidin Patra Kusumah mengaku tidak ada unsur politik dalam pendiriannya sejak tahun 2004 silam.
Rohidin mengatakan awalnya dalam rangka prihatin untuk merawat dan melestarikan situs sejarah budaya.
"Jadi semua terbuka untuk umum, kami tidak menutup-nutupi. Silahkan tanya kepada masyarakat sekitarnya, kami di situ tidak ada unsur politik," kata Rohidin, dilansir Youtube TVOne (19/1/2020).
Ia menambahkan pendirian Kesultanan Selacau Tunggul Rahayu tersebut tak lain bertujuan untuk merawat makam-makam leluhurnya.
"Kami dalam rangka melestarikan situs cagar budaya leluhur kami. Tujuan kami ingin agar setelah dirawat dilestarikan itu, nanti menjadi wilayah wisata religi hingga dapat meningkatkan ekonomi masyarakat, kreatif masyarakat," kata Rohidin.
Rohidin menyebutkan contoh kegiatan dalam meningkatkan ekonomi warga dalam kesultanannya yakni pemijahan dan pasar budaya.
Pada kegiatan tersebut akan memunculkan ekonomi masyarakat dalam menambah pemasukan pemerintah daerah tersendiri.
Rohidin menyatakan kesultanannya tersebut telah ia daftarkan kepada pemerintah desa baik kecamatan dan dinas sosial.
Dalam memerintah di Kesultanan Selaco, ia mengaku sudah menugaskan petugas kesultanan dengan beberapa kepentingan masing-masing.
Contohnya menugaskan keamanan kepada panglima Selaco atau angkatan bersenjata Selaco federasi untuk berkoordinasi dengan pihak TNI dan Polri dalam sebuah kegiatan.
Sementara itu, Rohidin menjelaskan identitas dirinya yang pernah mengatakan sebagai keturunan ke sembilan Raja Padjadjaran Surawisesa bergelar Sultan Parta Kusumah VIII.
"Nama saya Rohidin bin Haji Syaifullah bin Raden Enco Sudanco bin Raden Arya Munasan bin Raden Majangkung bin Raden Salim Kanam bin Raden Putrana Yayudaya Sadiwangsaraja bin Patra Kusumah bin Surawisesa atau nama lain Patra Kusumah adalah Radian Patra," papar Rohidin.
Ia menjelaskan makam-makam leluhurnya tersebut merupakan kawasan terbuka untuk umum.
Kembali Rohidin menegaskan dirinya di dalam kesultanan tersebut sama sekali tidak menyinggung persoalan pemerintah.
"Tanpa ada kepentingan untuk mengganggu pemerintah, mengganggu apapun atau mengambil untung dari situ,"
"Kami tidak, di sini kami murni dalam rangka menghormati asal-usul kultur sebagai mana Pasal Undang-Undang 18b tentang Asal-Usul yang seharusnya itu kewajiban pemerintah dan kedua tentang Undang-Undang Pagar Budaya," papar Rohidin.
Kesultanan yang berada di Tasikmalaya tersebut bahkan dikabarkan mengklaim memiliki batas teritorial.
Ia pun membantah tudingan tersebut, tetapi ia menjelaskan hanya mengklaim wilayah-wilayah yang berkaitan dengan luluhnya saja.
"Wilayah itu kan milik Indonesia. Kami tidak pernah menarik pajak. Saya tidak minta apapun keuangan terhadap rakyat. Kecuali kalau misalkan masyarakat ada acara event bawa makanan, minuman, mugkin saya makan dari situ," tegasnya.
Soal klaim wilayah teritorial, ia menyebut sifatnya hanyalah organisasi kebudayaan.
"Jadi tidak lebih dari itu. Seperti organisasi masyarakat pada umumnya saja. Bukan mengklaim wilayah. Kami hanyalah melestarikan situs-situs saja," tegasnya.
Adapun jumlah situs budaya yang ingin dijaga oleh kesultanan miliknya ada sekitar 100 situs yang ingin dibangun pemakaman dalam pelestarian budaya.
Proses pelestariannya tersebut kini baru berlangsung di wilayah Tasikmalaya.
Tetapi, apabila cukup kebutuan ekonomi, Rohidin akan memperluas di luar wilayah yang berkaitan dengan kesultanannya tersebut.
Menurutnya kesultanan tersebut merupakan bagian dari wilayah kecil dalam Negara Republik Indonesia (NKRI).
Disinggung soal kebijakan dan peraturan hukum Indonesia, Rohidin menyebut kesultanannya sudah melalui prosedur yang berlaku di Indonesia.
"Kalau saya tidak tunduk, tentu saya tidak akan membikin akta. Tentu saya tidak akan melaporkan kepada aparat mana kala ada kegiatan event budaya," tukasnya.
Ia menambahkan bahwa kesultanannya tersebut sangat menghormati NKRI dan tunduk terhadap pemerintahan dan peraturan yang ada.
Maka dalam roda kepemerintahannya, ia membahas masalah asa-usul Undang-Undang Dasar bagaimana mukodimah menyebut kemerdekaan adalah hak segala bangsa.
"Nah, kami ingin merdeka di dalam melestarikan sejarah budaya nenek moyang kami," katanya.
Ia juga mengungkapkan bercita-cita dalam membangun wisata religi yang betul-betul megah.
Disinggung soal kepercayaan terhadap pemerintah, ia mempertanyakan mengapa pemerintah tidak melestarikan situs-situs yang ada saat ini secara maksimal.
"Negara Kesatuan Republik Indonesia ini sudah 74 tahun, tapi kenapa situs-situs makam leluhur saya belum dilestarikan?" tuturnya,
Kesultanan Selaco Terafiliasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
Dilansir Tribunnews.com, berbeda dengan kerajaan baru bernama Kerajaan Agung Sejagat di Purworejo, Sunda Empire di Bandung keberadaan Kesultanan Selaco di Kecamatan Parung Ponteng selama ini dapat berdampingan dengan masyarakat sejak 2004.
Kesultanan Selaco tersebut dikabarkan berbentuk yayasan dan memiliki kabinet, layaknya kerajaan.
Rohidin pun mengatakan bahwa kesultanan miliknya telah terafiliasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Bahkan ia menyinggung pentingnya mata uang sebagai alat tukar untuk mensejahterakan masyarakat dunia.
"Ketua Mejelis Tinggi kita, beliau adalah pemegang lisensi seluruh mata uang di dunia. Dan beliau adalah Yang Mulia Bapak Bambang Utomo," jelas Rohidin.
Kepala Seksi Kewaspadaan Daerah Kesbangpol Kabupaten Tasikmalaya, Piping Novianti membenarkan adanya Surat Keputusan (SK) KemenkumHAM dan berkas-berkas dari PBB tersebut.
"Walaupun demikian, Polsif (Police Selaco International Federation) terdaftar di Kesbangpol sebagai perkumpulan yang terdaftar juga ada akta notaris dan berbadan hukum dari KemenkumHAM, serta berkas surat-surat dari PBB," jelas Piping.
Piping juga mengungkap, Kesultanan Selaco tersbeut selama ini kerap melakukan berbagai kegiatan kemasyarakatan.
Hal itu ia contohkan seperti perayaan hari ulang tahun kelahiran kesultanan.
Hingga kesultanan ini menyita perhatian publik seperti saat ini, Piping mengatakan belum pernah mendapati laporan dari masyarakat terkait aktivitas kesultanan yang meresahkan warga.
(Tribunnews.com/Nidaul 'Urwatul W)