TRIBUNNEWS.COM - Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'aruf Amin memasuki hari ke 100.
Sebelumnya, Jokowi menyampaikan tidak ada program 100 hari kerja.
Ia menegaskan, program-program serta visi misi pemerintahannya melanjutkan periode sebelumnya (2014-2019).
Terkait hal ini, Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman buka suara.
Fadjroel menegaskan, Jokowi tidak menetapkan 100 hari kerja Jokowi-Ma'aruf Amin.
Dalam unggahan video yang dibagikan Fadjroel di akun Twitternya @fadjroeL, ia menerangkan pekerjaan lanjutan dari periode pemerintahan Jokowi.
"Dalam metogologi dari penelitian ini, mungkin kita ada perbedaan. Artinya, dengan metodologi berbeda, dapat hasil yang berbeda," kata Fadjroel yang dikutip dari tayangan video pada akun Twitternya.
"Tentang hukum dan HAM, tidak terlalu buruk sebenarnya," tuturnya.
Ia menerangkan, berdasar data yang ia peroleh dari hasil survey terkait kinerja pemerintah.
Baca: Paus Fransiskus Telah Terima Undangan Presiden Jokowi Untuk Berkunjung Ke Indonesia
Fadjroel mengatakan, berdasar hasil survey terkait masalah hukum dan HAM tidak terlalu buruk.
"Saya tadi mendengar 63,7 persen terkait hukum dan 62 persen terkait dengan hak asasi manusia," katanya.
"Sekarang pemerintah sedang mengerjakan yaitu upaya penyelesaian kasus-kasus hak asasi manusia melalui rancangan undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi," tuturnya.
Dikutip dari Kompas.com, gebrakan apa saja yang telah dilakukan Jokowi-Ma'aruf dalam masa 100 hari kerja mereka?
Diketahui, dalam 100 hari masa kerja Jokowi-Ma'aruf, polemik penegakan HAM belum menemui titik terang.
Berikut ini Tribunnews rangkum beberapa polemik penegakan HAM dalam 100 hari kerja Jokowi-Ma'aruf:
1. Penggusuran Tamansari
Pemerintah Kota Bandung melakukan penggusuran di RW 11, Tamansari pada Desember 2019 lalu.
Penggusuran tersebut berlangsung ricuh.
Asistensi Pembelaan Umum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Riekfi Zulfikar mengatakan ada 37 korban kekerasan dalam aksi penggusuran, Kamis (12/12/2019).
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati juga menaruh perhatian pada kasus penggusuran Tamansari.
Menurutnya, tidak ada konsep terkait pemilikan tanah di Indonesia.
Baca: Dinilai Kurang Menonjol dalam 100 Hari Kerja, Maruf Amin: Kalau Menonjol Nanti Ada Matahari Kembar
Ia menegaskan, Tamansari merupakan satu dari sekian banyak kasus-kasus perampasan rakyat.
"Rakyat menempati tanah yang bukan milik siapa-siapa, itu milik negara. Dan mereka adalah pemilik sah negara," kata Asfinawati yang Tribunnews kutip melalui YouTube ILC.
2. Omnuibus Law Ancam HAM
Pemerintah mengatakan Omnibus Law UU ini dilakukan untuk mempermudah investasi di Indonesia.
Dikutip dari Kompas.com, pegiat HAm menilai Omnibus Law UU justru berpotensi mengancam HAM, terutama kalangan perempuan.
Koordinator Perempuan Mahardika, Mutiara Ika Pratiwi menilai hak perempuan semakin berkurang jik Omnibus Law tetap direalisasikan.
"Tidak ada satu kata pun yang menyebut perempuan sebagai tenaga kerja yang berkontribusi terhadap produksi," lanjut dia.
Selain itu mengancam hak perempuan,omnibus law juga dianggap berpotensi mengancam hak-hak buruh.
Serta menimbulkan ketimpangan antar pekerja lokal dan asing.
3. Tragedi Semanggi I dan II
Diketahui, penyelesaian dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu belum rampung.
Termasuk tragegi Semanggi I dan II.
Di periode ke dua pemerintahan Jokowi, ia tidak menyinggung sama sekali soal pelanggaran HAM masa lalu.
Menjelang 100 hari kerja Jokowi-Ma'aruf, Jaksa Agung Sianitar (ST) Burhanuddin menyebut tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat.
ST Burhanuddin merujuk pada hasil Rapat Paripurna DPR periode 1999-2004 yang menyatakan tragedi Semanggi I dan II tidak termasuk pelanggaran HAM berat.
Ia lantas memberikan larifikasi pernyataannya.
ST Burhanuddin menegaskan, prinsipnya, Kejaksaan Agung siap untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
"Kami akan lakukan penelitian apakah memenuhi materil dan formil, itu adalah janji saya. Saya ingin perkara ini tuntas agar tidak jadi beban," ujar dia
4. Kasus Hilangnya Wiji Thukul
Hingga pemerintahan periode pertamanya selesai, janji Jokowi kepada keluarga Wiji Thukul belum terpenuhi.
Bahkan, sutradara film dokumenter yang memproduksi 'Nyanyian Akar Rumput', Yuda Kurniawan sempat mengingatkan Jokowi akan janjinya.
Yuda Kurniawan mengantas undangan nonton film Nyanyian Akar Rumput kepada Jokowi.
Diberitakan Tribunnews sebelumnya, film dokumenter itu mengisahkan tentang keluarga Wiji Thukul.
Dalam caption unggahan akun Instagram Yuda, ia menegaskan undangan yang dikirim ke Jokowi merupakan pengingat janji Presiden.
"Mungkin selama lima tahun lalu, presiden keliwat sibuk membangun infrastruktur dan menjalani berbagai tugas kenegaraan, sehingga mungkin lupa dan tidak sempat memikirkan kasus Wiji Thukul."
"Karena itu kami mengajak Presiden Jokowi untuk menonton film 'Nyanyian Akar Rumput."
"Untuk mengingatkan dan juga memenuhi janjinya kepada keluarga Wiji Thukul dan menuntaskan kasus penghilangan paksa atas para aktivis 1997-1998."
Diketahui, film Nyanyian Akar Rumput muncul tepat ketika Jokowi baru saja dilantik sebagai presiden untuk periode kedua.
Jokowi sempat menyatakan kenal dengan Wiji Thukul dan keluarganya.
“Wiji Thukul itu, saya sangat kenal baik. Dia kan orang Solo. Anak-istrinya saya kenal. Puisi-puisinya saya juga tahu," ujar Jokowi yang dikutip oleh Yuda Kurniawan di caption unggahan Instagramnya.
Menurut adik kandung Wiji Thukul, Wahyu Susilo, ada satu karya puisi yang menjadi favorit Jokowi.
Puisi tersebut adalah puisi berjudul Peringatan.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)