TRIBUNNEWS.COM - Kabar duka datang dari keluarga besar Nahdlatul Ulama, satu tokoh NU sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng KH Salahuddin Wahid, atau kerap disapa Gus Sholah, meninggal dunia di RS Harapan Kita, Jakarta, Minggu (2/2/2020) pukul 20:55 WIB.
Kabar meninggalnya Gus Sholah diinformasikan langsung oleh putranya Irfan As'ari Sudirman Wahid yang biasa disapa Ipang Wahid melalui akun Twitter-nya @ipangwahid.
Melansir Tesis berjudul Dakwah Kebangsaan DR (HC) IR KH Salahuddin Wahid yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya karya Ahmad Yadi, Senin (3/2/2020), Gus Sholah merupakan tokoh masyarakat kelahiran Jombang, 11 September 1942.
Gus Sholah merupakan putra ketiga dari enam bersaudara pasangan KH Wahid Hasyim (Ayah) dan Sholichah (Ibu).
Gus Sholah adalah adik kandung dari Presiden Keempat RI Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur.
Selain seorang ulama, beliau merupakan aktivis, politis, dan tokoh Hak Asasi Manusia (HAM).
Pendidikan Gus Sholah
Pendidikan Dasar ditempuh di SD KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) yang memberikan pengalaman bagi dirinya untuk terbiasa hidup di lingkungan heterogen sehingga terbiasa menghadapi perbedaan.
Saat kelas IV, Gus Sholah pindah ke SD Perwari, letaknya di sebrang kampus UI Salemba.
Antara 1955-1958, Gus Sholah melanjukan sekolahnya di SMP Negeri I Cikini dan memilih jurusan ilmu pasti.
Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikan di SMA Negeri I yang populer dengan sebutan SMA Budut (Budi Utomo).
Selama masa SMA, beliau aktif di Kepanduan Ansor dan OSIS.
Pada 1962, Gus Sholah melanjutkan pendidikannya di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Mengambil jurusan arsitektur, meskipun sebenarnya beliau lebih berminat masuk jurusan ekonomi dan hukum.
Semasa kuliah, Gus Sholah aktif dalam kegiatan Senat Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa.
Sejak 1967, beliau aktif di organisasi mahasiswa ekstra kampus, dan memilih Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebagai wadah bernaungnya.
Selain fokus pada pendidikan, Gus Sholah sejak kecil belajar mengaji bersama saudara-saudaranya.
Ketika ayahnya masih hidup, kegiatan mengaji dipimpin langsung oleh sang ayah.
Setelah Kiai Wahid wafat, tugas itu diambil alih oleh sang Ibu KH Bisri Syansuri.
Selain belajar membaca Al-Qur’an, saat remaja beliau juga belajar fiqih, nahwu, sorof, dan tarikh.
Guru-gurunya antara lain Ustaz Muhammad Fauzi dan Ust Abdul Ghoffar, alumni Pesantren Tebuireng yang tinggal di Jakarta.
Pada 1968, ia menikah dengan Farida, putri mantan Mentri Agama, KH Syaifudin Zuhri.
Gus Sholah menyelesaikan studinya pada 1979.
Dari pernikahan, ia dikaruniai tiga anak yakni Irfan Asy’ari Sudirman (Gus Ipang), Iqbal Billy, dan Arina Saraswati.
Karier Gus Sholah
Sejak masa kuliah, Gus Sholah mulai merintis karirnya di bidang kontraktor.
Pada 1970, mendirikan perusahaan kontraktor bersama dua orang kawan dan kaka iparnya, Hamid Baidowi.
Gus Sholah juga pernah bergabung dengan Biro Konsultan PT MIRAZH, menjadi Direktur Utama Perusahaan Konsultan Teknik (1978-1997).
Ketua DPD Ikatan Konsultan Indonesia/Inkindo DKI (1989-1990), Sekretaris Jendral DPP Inkindo (1991-1994), Assosiate Dorector Perusahaan Konsultan Properti Internasional (1995-1996).
Dunia Menulis
Pada 1998, Gus Sholah meninggalkan kegiatannya di bidang perusahaan.
Gus Sholah mulai memanfaatkan waktunya untuk membaca buku sekaligus mulai menulis.
Tulisan-tulisannya banyak menyoroti berbagai persoalan yang dihadapi umat dan bangsa.
Beliau menjadi pimpinan redaksi majalah konsultan.
Setelah itu aktif menulis di beberapa media di antaranya harian Republika, Kompas, Suara Karya.
Pertengahan 2007, Gus Sholah mengumpulkan naskah-naskah tulisannya yang pernah diterbitkan di berbagai media, untuk dibuat menjadi buku.
Selain aktif mengirim tulisan di media sosial Gus Sholah juga menerbitkan beberapa buku di antaranya Negeri Di Kabut Sejarah, Menggagas Peran Politik NU, Bumi Korupsi; Jihad Akbar Bangsa Indonesia, Ikut Membangun Demokrasi: Pengalaman 55 Hari Menjadi Calon Presiden.
Dunia Politik
Gus Sholah pernah menjabat sebagai Anggota Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) sejak 1995 hingga 2005.
Pada 2000 beliau terpilih menjadi Ketua MPP ICMI periode 2000-2005.
Keanggotaannya di ICMI membuatnya semakin dekat dengan dunia politik.
Pada tahun 1998 Gus Sholah ditawari menjadi Sekjen PPP dengan calon Ketua Umum, Amien Rais.
Namun hal tersebut gagal karena Amien Rais memilih untuk mendirikan partai sendiri (PAN).
Setelahnya Gus Sholah bergabung dengan Partai Kebangkitan Umat (PKU) yang didirikan oleh Kiai Yusuf Hasyim, dan menjadi Ketua Dewan Pimpinan Pusat serta Ketua Lajnah Pemenangan Pemilu.
Setelah mengundurkan diri dari PKU, Gus Solah ikut maju sebagai seorang kandidat Ketua Umum PBNU saat Muktamar NU ke-30 di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.
Pada 2001, Gus Solah didaftarkan oleh adik iparnya, Lukman Hakim Syaifudin, sebagai calon anggota Komnas HAM dan terpilih sebagai satu dari 23 anggota Komnas HAM periode 2002-2007.
Pada saat yang sama, Gus Solah terpilih sebagai Wakil Ketua II Komnas HAM.
Gus Solah dipinang Golkar untuk maju sebagai Cawapres berpasangan dengan Wiranto.
Deklarasinya dilakukan pada 11 Mei 2004 di Gedung Bidakara, Jakarta.
Kemudian Gus Solah memilih mengundurkan diri dari Komnas HAM dan PBNU, sebagai cara untuk menunjukkan keseriusannya sebagai Cawapres.
Pengasuh Tebuireng
Gus Sholah menjadi pengasuh Tebuireng menggantikan Pak Ud.
Pada 12 April 2006, Gus Solah bertemu dengan Pak Ud untuk mematangkan rencana pengunduran diri Pak Ud dan naiknya Gus Solah sebagai pengasuh Tebuireng.
Pergantian pengasuh diresmikan keesok harinya bersamaan dengan acara Tahlil Akbar Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari dan Temu Alumni Nasional Pondok Pesantren Tebuireng yang dilangsungkan di halaman pondok.
Untuk lebih lengkapnya silahkan simak Tesis berjudul Dakwah Kebangsaan DR (HC) IR KH Salahuddin Wahid karya Ahmad Yadi yang diterbitkan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya pada link berikut >>>>>
(Tribunnews.com/Fajar)