TRIBUNNEWS.COM - Nurshadrina Khaira Dhania warga Indonesia dari 18 mantan simpatisan ISIS pulang ke Indonesia Agustus 2017 lalu.
Nurshadrina (19) mengaku tertipu dengan seluruh janji dan propaganda ISIS yang dia dapatkan dari internet.
Kehidupan yang lebih baik di bawah konsep negara khilafah pimpinan Abu Bakar Al Baghdadi tidak dia temukan sesampainya di Suriah sejak Agustus 2015.
"Kami niatnya hanya ingin hidup saja di bawah naungan mereka, di bawah naungan khilafah itu," ucapnya.
Namun, sesampainya di sana, Nurshadrina justru diperlakukan tidak manusiawi.
Kaum perempuan yang berasal dari luar Suriah ditempatkan di sebuah asrama yang tidak layak dan kotor.
Sementara kaum laki-laki dipaksa untuk ikut berperang.
Kaum perempuan didata berdasarkan statusnya, antara yang sudah berkeluarga, belum menikah, dan janda.
Setelah itu ditempatkan secara terpisah di asrama tersebut.
Nurshadrina menuturkan, hampir setiap hari para anggota ISIS mendatangi asrama tersebut.
Mereka mendatangi pimpinan asrama untuk meminta perempuan yang belum menikah atau janda untuk dijadikan istri.
Secara paksa, para pejuang ISIS itu melamar seorang perempuan yang disukainya tanpa peduli apakah perempuan itu mau atau tidak.
"Mereka meminta istri ke pimpinan asrama kami karena pimpinan asrama kami punya daftar siapa saja yang masih single dan yang janda," kata Nurshadrina.
"Mereka datang, 'saya mau yang ini', datang pagi-pagi untuk melamar dan sorenya sudah minta jawaban. Secepat itu minta jawaban, harus kawin. Saya secara pribadi fighter ISIS itu menganggap perempuan hanyalah sebagai pabrik anak saja," tuturnya.
Nurshadrina mengatakan bahwa di ISIS seolah-olah jihad hanya nikah.
"Dalam hati aku mikir kok bagi mereka jihad itu hanya nikah doang," ujarnya.
Nurshadrina menilai ISIS memperlakukan perempuan seperti pabrik anak.
Setelah satu tahun berada di sana Nurshadrina baru menyadari bahwa tindakan ISIS sangat jauh berbeda dengan ajaran Islam.
Warga asli Suriah diperlakukan dengan kejam jika berani menentang ISIS.
Kaum laki-laki dipaksa untuk berperang dan kaum perempuan hanya dijadikan obyek pemuas nafsu oleh para pejuang ISIS.
"Aku bisa bilang mereka pembohong besar," kata dia.
Nurshadrina mengatakan bahwa kehidupan di sana jauh dari kehidupan Islami.
"Suka gosip, sering fitnah, sesama perempuan pukl-pukulan," ujarnya.
Polemik pemulangan 600 WNI eks ISIS
Sebelumnya, presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak ingin 600 warga negara Indonesia (WNI) mantan anggota Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dipulangkan ke Indonesia.
Meski rencana dari pemerintah tersebut belum diputuskan, Jokowi menegaskan akan bilang tidak untuk upaya pemulangan itu.
Pembahasan lebih lanjut soal rencana tersebut akan dibahas dalam rapat terbatas (Ratas) dengan kementerian terkait.
"Ya kalau bertanya kepada saya, ini belum Ratas ya.
Kalau bertanya kepada saya, saya akan bilang tidak," kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Rabu (5/2/2020), diberitakan Tribunnews.com sebelumnya.
Dalam rapat tersebut, Jokowi akan membahas rencana kepulangan WNI eks ISIS secara detail.
Presiden akan meminta kementerian terkait untuk mengkalkulasi dan menghitung plus-minus jika 600 WNI tersebut pulang ke Indonesia.
Jokowi menyampaikan, sampai saat ini semuanya masih dalam proses pembahasan.
"Sampai saat ini masih dalam proses pembahasan, dan nanti sebentar lagi kita akan putuskan kalau sudah dirataskan. Semuanya masih dalam proses," imbuh Jokowi.
Tanggapan Mahfud MD
Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan pemerintah belum memutuskan apakah akan memulangkan 600 lebih WNI yang bergabung dengan ISIS atau Foreign Teroris Fighter (FTF) ke Indonesia.
Menurutnya, pemulangan WNI eks ISIS tersebut harus melihat manfaat serta mudaratnya.
Mudaratnya, kata Mahfud, para WNI tersebut bisa menjadi virus yang menyebarkan paham radikalnya di Indonesia.
"Mulai dari mudaratnya kalau dipulangkan itu nanti bisa menjadi masalah di sini, bisa menjadi virus baru di sini. Karena jelas jelas dia pergi ke sana untuk menjadi teroris," kata Mahfud di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu, (5/2/2020).
Jika dipulangkan ke Indonesia, mereka harus mengikuti deradikalisasi terlebih dahulu. Sementara proses radikalisasi membutuhkan waktu.
"Kalau nanti habis deradikalisasi diterjungkan ke masyarakat nanti bisa kambuh lagi, kenapa? karena di tengah masyarakat nanti dia diisolasi, dijauhi. Kalau dijauhi nanti dia jadi teroris lagi kan," katanya.
Namun pada satu sisi, para WNI tersebut memiliki hak untuk tidak kehilangan status kewarganegaraan.
Kata Mahfud, pemerintah sedang mencari formula yang pas mulai dari aspek hukum dan konstitusi menyikapi para WNI Eks ISIS tersebut.
"Kita sedang mencari formula, bagaimana aspek hukum serta aspek konstitusi dari masalah teroris pelintas batas ini terpenuhi semuanya. Kalau ditanya ke Menkoplhukam itu jawabannya," katanya.
Mahfud lebih setuju jika para mantan anggota ISIS tersebut tidak dipulangkan karena akan membahayakan negara.
Secara hukum, paspor para WNI tersebut bisa dicabut karena pergi secara ilegal ke luar negeri untuk bergabung dengan ISIS.
"Secara hukum paspornya bisa saja dicabut, ketika dia pergi secara ilegal ke sana, itu kan bisa saja. Kita juga tidak tahu kan mereka punya paspor asli atau tidak.
Kalau asli pun kalau pergi dengan cara seperti itu, tanpa izin yang jelas dari negara, mungkin paspor nya bisa dicabut," katanya.
Lagi pula menurut Mahfud belum ada negara manapun yang memiliki masalah yang sama dengan Indonesia berniat memulangkan warganya.
"Dari banyak negara yang punya FTF itu belum ada satupun yang menyatakan akan dipulangkan. Ada yang selektif, kalau ada anak anak yatim akan dipulangkan, tapi pada umumnya tidak ada yang mau memulangkan terorisnya," ujarnya.(*)
Artikel ini telah tayang di Tribunjateng.com dengan judul Pengakuan WNI Sepulang dari Suriah, ISIS Perlakukan Perempuan Seperti Pabrik Anak, Dipaksa Nikah