Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Surat Presiden atau Surpres terkait draft omnibus law cipta lapangan kerja sudah ditandatangani Presiden Joko Widodo dan disampaikan kepada pimpinan DPR RI pada Rabu (13/2/2020).
Draft Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja memuat 1028 halaman yang meliputi ruang lingkup, berupa peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, ketenagakerjaan, kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan, UMK-M, serta perkoperasian.
Lalu, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, pengadaan lahan, kawasan ekonomi, investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional, pelaksanaan administrasi pemerintahan, dan pengenaan sanksi.
Aturan terkait Ketenagakerjaan dimuat di Bab IV.
Di Pasal 88 disebutkan "Dalam rangka penguatan perlindungan kepada tenaga kerja dan meningkatkan peran tenaga kerja dalam mendukung ekosistem investasi, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
a. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
b. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
c. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Draft RUU itu sudah beredar di publik. Publik mencermati terdapat sejumlah aturan-aturan yang dinilai kontroversial.
Baca: Sule Layangkan Ultimatum ke Nunung, Ancam Lakukan Hal Tak Biasa jika Gunakan Narkoba Lagi
Baca: Sering Dispelekan, Ini Cara Menghidupkan Mesin Mobil yang Benar, Salah Performa Mesin Bisa Turun
Aturan itu terkait, perubahan jam kerja, sistem kerja, kerja kontrak, outsourcing, upah minimum, pesangon, aturan tenaga kerja asing, sistem kerja dari long life menjadi fleksibel, dan jaminan sosial.
Berikut di antaranya aturan-aturan yang menjadi kontroversi di kalangan buruh/pekerja:
Perubahan Jam Kerja
Pada Pasal 77 RUU Cipta Lapangan Kerja disebutkan setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. Waktu kerja sebagaimana dimaksud paling lama 8 jam satu hari dan 40 jam satu minggu.
Dan, pelaksanaan jam kerja bagi pekerja/buruh di perusahaan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Aturan itu berbeda jika dibandingkan dengan UU Ketenagakerjaan.
Di Pasal 77 ayat 2 UU Ketenagakerjaan disebutkan waktu kerja diatur dalam dua bentuk, pertama, sebanyak 7 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk enam hari kerja dalam 1 minggu.
Kedua, sebanyak 8 jam sehari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam satu minggu.
Pemberian Lembur
Terdapat penambahan waktu lembur yang dapat diberikan oleh pengusaha kepada pekerja.
Pada Pasal 78 ayat 1 huruf b UU Ketenagakerjaan disebutkan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak tiga jam dalam satu hari dan 14 jam dalam satu minggu.
Baca: Batan dan Bapeten Angkut Sisa Tanah yang Masih Mengandung Radioaktif di Perumahan Batan Indah
Baca: Fakta Wisata Seks Halal Kawin Kontrak di Puncak, Terbongkar Lewat Youtube, Tarif Capai Rp 10 Juta
Sedangkan, di draft RUU Cipta Lapangan Kerja yang diatur di Pasal 78 ayat 1 huruf b disebutkan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 4 jam dalam satu hari dan 18 jam dalam satu minggu.
Sementara itu, di Pasal 78 ayat 2 UU Cipta Lapangan Kerja, Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja wajib membayar upah kerja lembur
Perubahan Rumus Pesangon
Untuk penghitungan pesangon, UU Ketenagakerjaan melihat komponen yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang pengganti yang seharusnya diterima pekerja adalah upah pokok.
Sedangkan, di draft RUU Cipta Lapangan Kerja, komponen yang digunakan sebagai dasar perhitungan pesangon dan uang penghargaan masa kerja buruh ada dua.
Pertama, upah pokok pekerja. Kedua, tunjangan tetap yang diberikan kepada buruh dan keluarganya.
Meskipun terjadi perubahan dasar penghitungan, namun, jumlah pesangon yang diberikan apabila pekerja terjadi pemutusan hubungan kerja, tidak mengalami perubahan.
Besaran pesangon paling banyak sembilan kali upah yang diberikan bagi buruh yang masa kerja 8 tahun atau lebih.
Baca: Lama Dinanti, Suzuki Resmi Perkenalkan XL7 di Indonesia
Baca: Makanannya Enak dan Sehat, Berat Badan Caren Bertambah Usai Jalani 14 Hari Masa Observasi di Natuna
Pemutusan Hubungan Kerja
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh.
Dalam hal kesepakatan tidak tercapai, penyelesaian pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan di Pasal 151 draft RUU Cipta Lapangan Kerja itu berbeda dengan di UU Ketenagakerjaan.
Di UU Ketenagakerjaan disebutkan pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK.
Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
Pengajuan Cuti Panjang
Pengajuan cuti panjang juga menjadi kontroversi di draft RUU Cipta Lapangan Kerja.
Jika, mengacu pada Pasal 79 ayat 2 huruf d UU Ketenagakerjaan disebutkan istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
Sedangkan, di draft RUU Cipta Lapangan Kerja disebutkan perusahaan dapat memberikan cuti panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.