TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis hakim konstitusi menggelar sidang uji formil dan materil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pada Rabu (19/2/2020) ini, majelis hakim mendengarkan keterangan ahli yang dihadirkan pemohon uji materi. Salah satu pemohon, yaitu mantan Ketua KPK Agus Rahardjo, di mana permohonan tercatat di 79/PUU-XVII/2019.
Dua orang ahli tersebut, yaitu dosen hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Muchtar dan dosen hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Bivitri Susanti.
Zainal Arifin menyinggung pembentukan Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Baca: Dirawat Dua Minggu, WNI yang Sembuh Virus Corona di Singapura Tinggalkan Rumah Sakit
Menurut dia, keberadaan Dewas KPK membuat adanya dualisme dan berpotensi menimbulkan konflik internal di lembaga antirasuah tersebut.
Dia mencontohkan permasalahan antara mantan Direktur Utama TVRI Helmi Yahya dengan Dewas TVRI.
"Dewan pengawas yang saya temukan agak mirip. Saya lihat di TVRI melalui PP 13/2005, ada dewan pengawas. Kita lihat hasilnya, TVRI berantem di internal," ujarnya saat memberikan keterangan di ruang sidang pleno lantai II gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu (19/2/2020).
Baca: Asabri Gandeng Kepolisian Tagih Utang Investasi ke Heru dan Benny Senilai Rp 11,4 Triliun
Dia merasa bingung terhadap pembentuk undang-undang mengapa sebuah lembaga negara independen dibuat dengan konsep ada dualisme di internal.
"Saya coba baca di lembaga negara independen, saya tidak temukan lembaga pengawas. Kalau ada dia bukan bagian setara. Pertarungan itu sederhana, karena tidak jelas siapa yang akan membuat konsep menjalankan kewenangan seperti dewan pengawas," tambahnya.