Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
RIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Lokataru Haris Azhar keheranan ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyuruhnya melaporkan posisi eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) yang jadi buronan.
"KPK cuma mempersilahkan saya lapor ke KPK. Padahal alamat apartemenya ada di KPK. Para penyidik sudah tahu. Buat apa mutar-mutar suruh saya lapor lagi?" kata Haris saat dimintai konfirmasi, Rabu (18/2/2020).
Haris kemudian berspekulasi, status DPO Nurhadi hanya bersifat formalitas.
"Ini saya curiga memang modus baru, sengaja dibuat DPO. Lalu praperadilan, terus diputus bebas," katanya.
"Buat saya aneh, kenapa tetiba DPO?! Wong KPK belum pernah cari, belum pernah geledah, cuma mengandalkan pemanggilan saja, NHD (Nurhadi) tidak hadir lalu dinyatakan DPO. Ke depannya KPK aja kayak gini. Sangat disayangkan. Receh banget," tegas Haris.
Pada Selasa (18/2/2020) diketahui Haris menyambangi KPK. Kepada awak media, ia mengatakan Nurhadi ada di sebuah apartemen mewah Jakarta. Di sana, katanya, Nurhadi mendapat perlindungan super ketat yang disebut Haris sebagai golden premium protection.
Baca: KPK Minta Haris Azhar Beberkan Siapa Pihak yang Menjaga Nurhadi di Apartemen Mewah
Baca: Kasus Suap dan Gratifikasi Nurhadi Cs, KPK Panggil Satu Orang Saksi
Baca: KPK Akan Tindak Tegas Nurhadi, Pengamat Ingatkan Konsekuensi Hukum
"KPK enggak berani datang untuk ngambil Nurhadi, karena cek lapangan ternyata dapat proteksi yang cukup serius, sangat mewah proteksinya," ungkap Haris.
"Artinya apartemen itu enggak gampang diakses oleh publik, lalu ada juga tambahannya dilindungi oleh apa namanya pasukan yang sangat luar biasa itu," imbuhnya.
Dalam perkara kasus dugaan suap dan gratifikasi penanganan perkara di MA tahun 2011-2016, KPK menetapkan eks Sekretaris MA Nurhadi; menantu Nurhadi, Riezky Herbiono; dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto sebagai tersangka. KPK belum melakukan penahanan terhadap ketiganya.
Nurhadi dan Rezky diduga menerima suap dan gratifikasi dengan total Rp46 miliar terkait pengurusan perkara di MA tahun 2011-2016.
Dalam kasus suap, Nurhadi dan menantunya diduga menerima uang dari dua pengurusan perkara perdata di MA. Pertama, melibatkan PT Multicon Indrajaya Terminal melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (Persero).
Kemudian, terkait pengurusan perkara perdata sengketa saham di PT MIT dengan menerima Rp33,1 miliar.
Adapun terkait gratifikasi, tersangka Nurhadi melalui menantunya Rezky dalam rentang Oktober 2014-Agustus 2016 diduga menerima sejumlah uang dengan total sekitar Rp12,9 miliar terkait dengan penanganan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di MA dan permohonan perwalian.
Nurhadi dan Rezky disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b subsider Pasal 5 ayat (2) subsider Pasal 11 dan/atau Pasal 12B Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara itu Hiendra disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b subsider Pasal 13 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dalam perjalanan kasus ini, KPK kemudian memasukkan tiga tersangka dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Status DPO itu diberikan karena sebelumnya tiga tersangka itu mangkir dari panggilan KPK untuk diperiksa sebagai tersangka sebanyak dua kali.