News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Sesmenpora Gatot Beberkan Temuan BPK Terkait Penganggaran di Satlak Prima

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

sidang suap

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora), Gatot S Dewa Broto mengungkapkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) soal anggaran Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) di Kemenpora.

Menurut dia, temuan BPK di Satlak Prima itu terkait penggunaan anggaran yang tidak sesuai peruntukan. Temuan itu terkait anggaran program Satlak Prima tahun 2014 hingga 2017.

Pernyataan itu disampaikan Gatot saat memberikan keterangan sebagai saksi untuk terdakwa Imam Nahrawi, terkait kasus suap pemberian dana hibah KONI yang diberikan Kemenpora.

"Karena pelaksanaan anggaran di Prima tidak sesuai peruntukan, misalnya yang saya baca di terpal di summarynya. Misalnya yang diakomodasi berapa? Kemudian yang dicairkan berapa persen? Kemudian untuk nutrisi vitamin dan sebagainya," kata Gatot, saat memberikan keterangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (4/3/2020).

Baca: Imam Nahrawi Bakal Nyanyi Soal Pemberian Dana Hibah KONI di Sidang Tipikor

Dia mengungkapkan temuan itu menjadi PDTT (Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu). Tim khusus BPK pada tahun 2017-2018 memeriksa keuangan Prima selama tahun 2014 hingga tahun 2017.

Gatot mengungkapkan sempat mendampingi Anggota 3 BPK, Achsanul Qosasi saat memaparkan hasil audit internal, serta arahan pasca-Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap sejumlah pejabat KONI dan Kemenpora.

"Acara khusus dalam konteks Pak Menteri menyuruh kami jajaran deputi, eselon 1 yang terkait, ada sesmen, ada deputi 4, dan juga para pimpinan KONI, KOI, dan Cabor untuk jadi peringatan, mengingat pada Desember 2018 ada pernah OTT. Hal itu agar tidak terulang," tuturnya.

Gatot menyatakan pemaparan hasil audit BPK itu dilakukan secara tertutup. Bahkan, kata Gatot, Anggota BPK, Achsanul Qosasi sempat meminta agar paparan hasil audit itu tidak bocor hingga keluar.

Baca: Terkuak di Sidang, Orang Dekat Imam Nahrawi Punya Kekuasaan Luar Biasa di Kemenpora

"Itu tidak dipaparkan secara terbuka, jadi ada potongan-potongan untuk pemberian bantuan masing-masing cabor. Tapi itu hanya untuk konsumsi intern, karena waktu itu Pak Achsanul bilang dipastikan di ruangan ini tidak boleh ada wartawan dan tidak boleh ada satupun yang membocorkan ke pihak luar," kata dia.

Setelah itu, Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi menanyakan apakah terdapat potongan anggaran Prima dari hasil temuan BPK tersebut

"Kami tanyakan karena ada permintaan dari pak Ulum seperti itu. Berapa persen potongannya? tanya Jaksa kepada Gatot.

"Saya lupa, tetapi Achsanul menyebutkan angka dikisaran 15 persen," jawabnya.

"Ini apakah termasuk yang dipotong termasuk Satlak Prima?" tanya Jaksa.

"Itu hanya yang berlaku di 2018, karena 2018 itu prima sudah bubar jadi seperti lazimnya BPK memeriksa. Yang diperiksa proses penganggaran yang terjadi di sebelumnya," tambah Gatot.

Untuk diketahui, mantan menteri pemuda dan olah raga (Menpora RI) Imam Nahrawi, didakwa menerima suap sebesar Rp 11,5 miliar dari mantan Sekretaris Jenderal KONI Endang Fuad Hamidy.

Imam Nahrawi didakwa bersama-sama dengan Miftahul Ulum meminta uang tersebut untuk mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah yang diajukan oleh KONI pusat kepada Kemenpora pada tahun kegiatan 2018 lalu.

Baca: Eks Menpora Imam Nahrawi Disebut Pernah Minta Tambahan Dana Operasional Rp 70 Juta

Ketika itu, KONI Pusat mengajukan proposal bantuan dana hibah kepada Kemenpora RI dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program peningkatan prestasi olahraga nasional Pada Multi Event 18th ASIAN Games 2018 dan 3rd ASIAN PARA Games 2018.

Selain itu, proposal dukungan KONI dalam rangka pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi tahun kegiatan 2018.

Atas perbuatannya, Imam Nahrawi didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Selain itu, Imam Nahrawi didakwa menerima gratifikasi berupa uang sejumlah Rp 8,6 Miliar. Pemberian gratifikasi itu didapat dari sejumlah pihak.

Perbuatan Terdakwa tersebut merupakan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12B ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini