Laporan Wartawan Tribunnews.com, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Virus Corona atau COVID-19 belakangan menjadi momok menakutkan bagi dunia, tidak terkecuali di Indonesia.
Kemunculan kasus 1 dan 2 di Indonesia yang diumumkan langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di istana di awal Maret lalu membuat warga sempat panik.
Belum lagi dengan munculnya sejumlah hoaks atau disinformasi yang berkaitan dengan virus yang berawal dari negara Tiongkok itu.
Baca: Kejaksaan Agung Pertimbangkan Upaya Hukum Lanjutan untuk Karen Agustiawan
Wakil Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo mengatakan kemunculan COVID-19 memang berbeda dengan virus lainnya.
Baca: Sepakbola Indonesia Punya Potensi kata Paul Munster
Dimana para peneliti antar dunia saling terbuka dan sharing informasi untuk menemukan formula mencari asal usul virus tersebut maupun vaksinnya.
"COVID-19 merupakan suatu fenomena baru. karena belum pernah terjadi di dunia ini, para peneliti terbuka dan sharing informasi seperti apa yang terjadi sekarang," ujar Doktor Hera, di kawasan Palmerah, Jakarta.
"Virus corona mempunyai 30.000 huruf cetak. Sampai sekarang dari hampir 110 negara itu, mereka melakukan perumusan dan kita bisa mendapatkan 64 informasi dikalikan 30.000, itu yang kita baca dan bandingkan," lanjutnya memaparkan.
Penyebaran virus corona yang awalnya berpusat pada episentrum di Wuhan, Tiongkok dan menyebar ke negara-negara lainnya dapat dilihat penyebaran dari perubahan episentrum virus.
Hal itu membantah isu bahwa ras Melayu kebal dari penyebaran COVID-19, sebelum akhirnya terkonfirmasi beberapa kasus di Indonesia.
Peneliti menemukan, dari analisis DNA ada kemiripan genetik virus COVID-19 dengan virus MERS-CoV dan virus Sars CoV.
"Ternyata setelah dibuat seperti pohon keluarga, virus yang menyebabkan covid 19 itu satu keluarga dengan sars yang menyerang kita dulu. Karena itu yang tadinya novel coronavirus 19 akhirnya disebut Sars CoV2, karena dia sama dengan Sars CoV1," lanjutnya
Virus tersebut, untuk bisa menginfeksi harus memiliki reseptor, yang mana reseptornya ada di paru, hati dan ginjal.
"Jika dikutip kembali pertama kalinya pasien dipublikasikan, kematian mereka disebabkan karena kegagalan paru-paru dan kegagalan ginjal," ujar Hera.
Mencegah penyebaran hoaks terkait isu COVID-19, masyarakat perlu mengetahui data terkait virus tersebut.
Tujuannya untuk mengedukasi masyarakat bahwa perlunya kolaborasi agar bisa survive dalam menanggulangi penyebaran COVID-19.
"Kunci dari keberhasilan itu adalah kolaborasi, dengan itu sebenarnya bersama kita bisa. Revolusi Industri 4.0, jadi kita harus memanfaatkan kasus ini untuk ilmu kedokteran," ujarnya