TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masjid Istiqlal mengganti salat Jumat dengan salat Zuhur sampai dua pekan ke depan guna mencegah penyebaran virus corona atau Covid-19.
Pantauan TribunJakarta.com, Jumat (20/3/2020), Masjid Istiqlal mengganti Jumatan dengan salat Zuhur berjemaah.
Baca: Cegah Sebaran Virus Corona, Kemendikbud Ajak Mahasiswa Tingkat Akhir Bidang Kesehatan Jadi Relawan
Husni Ismail, imam salat Zuhur sekaligus pengelola Masjid Istiqlal, bercerita sejarah Nabi Muhammad SAW terkait salat saat wabah melanda.
Apa yang dilakukan Masjid Istiqlal sekarang dengan mengganti salat Jumat dengan salat Zuhur, berkaitan untuk mencegah virus corona.
"Di zaman itu, Nabi Muhammad SAW menyuruh Bilal (sahabatnya, red) untuk mengubah lafaz azan hayya 'ala sholah dengan shollu fi rihalikum," kata Husni seusai salat Zuhur di Masjid Istiqlal.
"Sholatlah kalian di rumah masing-masing. Ketika terjadi wabah, nabi menyarankan siapa yang berada di luar wilayah wabah itu menyebar, jangan pernah masuk ke wilayah itu," sambung dia.
"Juga siapa yang berada di dalam wilayah itu, jangan keluar dari wilayah itu. Jadi itu diputus mata rantainya. Itu nabi yang mencontohkan dan melakukannya."
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, para sahabatnya pun meneruskan ajarannya itu.
Satu di antara sahabat, yakni Umar bin Khattab.
"Ini dilakukan oleh para sahabat setelahnya. Jadi Umar bin Khattab juga melakukan hal yang sama," kata Husni.
Pada zaman itu, kata Husni, Umar bin Khattab bersama para sahabat sedang menuju ke Tanah Syam yang saat itu sedang dilanda wabah penyakit.
"Umar menunda perjalanannya dari dari Madinah. Padahal perjalanan dari Madinah menuju Syam sudah cukup jauh, dan kembali ke Madinah," ucap Husni.
Di antara yang ikut, ada sahabatnya yang memprotes kenapa rombongan Umat lari dari takdir.
"Alasannya Umar, kita lari dari takdir yang jelek dan menuju takdir yang baik," lanjutnya.
Baca: DPR Minta Pemerintah Perbanyak Fasilitas Kesehatan Untuk Tangani Pandemi Corona di Indonesia
"Kalau kita membawa ternak, ke dalam taman. Ada yang rumputnya hijau dan tandus, kita akan pilih yang mana."
"Tentu kita akan pilih yang subur, itu pilihan kita untuk takdir yang baik," terang Husni. (TribunJakarta.com/Muhammad Rizki Hidayat)
Muhammadiyah perbolehkan salat di rumah
Pengurus Pusat Muhammadiyah mengeluarkan surat edaran untuk menindaklanjuti Fatwa yang sudah dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Senin (16/3/2020).
Fatwa tersebut adalah Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19.
PP Muhammadiyah berharap umat muslim dan warga Muhammadiyah sementara waktu mengganti salat Jumat dengan salat Zuhur di rumah.
Himbauan tersebut telah ditanda tangani oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dan diunggah melalui akun Instagram resmi Muhammadiyah @lensamu, Jumat (20/3/2020).
Selain itu, pelaksanaan salat wajib dianjurkan untuk dilakukan di rumah masing-masing untuk sementara waktu.
"Berkaitan dengan penyebaran wabah Covid-19, sesuai dengan prinsip kedaruratan yang dipedomani dari Al-Quran dan Al-Sunnah Al-Maqbulah serta merujuk pada maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah, maka Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengimbau agar umat muslim dan warga Muhammadiyah menunaikan shalat dzuhur di kediaman masing-masing sebagai pengganti shalat Jumat di masjid."
"Para pengurus takmir masjid tidak perlu menyelenggarakan salat Jumat. Adapun salat fardu berjamaah dapat diselenggarakan di rumah masing-masing. Semoga Allah SWT melimpahkan pahala dan perlindungan untuk hamba-Nya yang beriman dan beramal shaleh"seperti tertulis dalam surat himbauan.
Baca: Imam Besar Masjid Istiqlal Nilai Tepat Fatwa MUI
Keputusan MUI
Sekertaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Asroun Niam Soleh, menjelaskan isi dari fatwa yang dikeluarkan MUI tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19.
Satu di antara isinya yaitu memperbolehkan umat Islam yang berada di daerah potensi penularan Covid-19 tinggi untuk tidak melakuan shalat Jumat di masjid dan menggantinya dengan salat Duhur di rumah.
"Yang pertama dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang ia boleh meninggalkan salat Jumat dan menggantinya dengan salat Zuhur."
"Serta meninggalkan jamaah salat Rowatib tidak Tarawih di masjid dan di tempat-tempat umum ia bisa menggantinya di tempat yang bersifat privat atau khusus," ujarnya, dilansir YouTube Kompas TV, Selasa (17/3/2020).
Tapi, bagi umat Islam yang berada di daerah potensi Covid-19 rendah, tetap menjalankan ibadah seperti biasa.
"Yang berada di kawasan potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak berwenang maka ia tetap wajib melaksanakan ibadah seperti biasa."
"Jadi dia bisa salat Jumat di satu kawasan yang potensi penularannya rendah atau tidak masuk zona merah," imbuhnya.
Ia menambahkan jika fatwa MUI ini bisa digunakan pemerintah pusat maupun daerah.
Baca: Tanggapi Fatwa MUI soal Sholat di Rumah Termasuk Sholat Jumat Imbas Corona, Ini Kata Quraish Shihab
"Zona pada berada pada tingkat penularan sangat tinggi maka pemerintah bisa menggunakan fatwa ini untuk meniadakan salat Jumat sementara pemerintah daerah fatwa soal salat Jumat bisa dijadikan pegangan," ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla menyatakan fatwa dari MUI tersebut sangat perlu untuk dijadikan perhatian umat Islam di Indonesia.
"Anda baca fatwa ini, pertama dia mutlak, kalau orang sakit sudah batuk-batuk, itu tidak boleh ke masjid," ujarnya dikutip dari Kompas.com.
Tapi, Jusuf Kalla mempertanyakan batasan daerah yang dinyatakan zona merah tidak boleh beribadah di masjid.
Hal ini karena pemerintah belum menentukan daerah mana saja yang dinyatakan zona merah atau memiliki potensi penularan tinggi covid-19.
"Artinya kalau di luar negeri itu mudah, dia kasih ini daerah merah, ini daerah kuning. Kita tidak ada istilah daerah merah, daerah kuning kan."
"Jadi nanti kita akan diskusikan dengan Dewan Masjid yang penting di sini bahwa MUI menyadari ini berbahaya," ungkap mantan Wakil Presiden ini.
Selain masalah ibadah, Jusuf Kalla juga menghimbau agar masyarakat untuk sementara ini menghindari bersalaman.
"Jadi salam dari dada saja dari hati ke hati. Jadi itulah yang nanti akan kita bahas lagi bagaimana teknisnya ini karena semuanya lengkap dengan dalil-dalil dari segi agama, pelaksanaan teknisnya nanti akan kita pelajari betul lagi," imbuhnya.
(Tribunnews.com/Faisal Mohay) (Kompas.com/Deti Mega)