Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana menerapkan darurat sipil sebagai opsi terakhir dalam mencegah penyebaran virus corona (Covid-19) dibandingkan karantina wilayah.
Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira menilai keputusan ini kurang tepat.
Baca: Masih Ada 99 Kelurahan di Jakarta yang Nihil Kasus Virus Corona, Ini Daftarnya
"Mengapa Pemerintah tidak mengambil karantina wilayah, alih-alih darurat sipil?" ujar Bhima, kepada Tribunnews, Selasa (31/3/2020) siang.
Menurutnya, darurat sipil dan karantina wilayah atau karantina kesehatan merupakan dua hal yang berbeda.
Ada tanggung jawab pemenuhan kebutuhan pokok terhadap rakyat yang tercantum dalam Undang-undang (UU) Kekarantinaan Kesehatan.
"Terbaca secara jelas, apabila Pemerintah menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan Tahun 2018, artinya menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat memenuhi kebutuhan pokok rakyat selama karantina wilayah diberlakukan," jelas Bhima.
Ia menyebutkan Pasal 55 UU Kekarantinaan Kesehatan yang mengatur tentang kewajiban pemerintah selama masa karantina wilayah diberlakukan.
"Sesuai amanat pasal 55, ‘selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat’," kata Bhima.
Kebutuhan manusia maupun hewan ternak merupakan tanggung jawab pemerintah, jika penerapan penanganan corona menggunakan UU ini.
"Manusia yang berada dalam wilayah karantina, sekaligus (hewan ternak) kambing, ayam, dan sapi kebutuhannya wajib dipasok Pemerintah Pusat, bukan oleh Pemerintah Daerah," tegas Bhima.
Baca: RS Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran Telah Tampung 413 Pasien, 1 PDP Meninggal Dunia
Pemerintah memang saat ini memilih untuk menggunakan darurat sipil dibandingkan karantina wilayah.
Padahal sebelumnya Presiden Jokowi yang telah menandatangani UU Kekarantinaan Kesehatan untuk menjadi payung hukum dalam upaya penanggulangan wabah penyakit.