Lebih lanjut, efek pemudik dari kota besar yang terdampak Covid-19 selama masa diberlakukannya aturan penjarakan fisik sejak minggu ketiga Maret 2020 diasumsikan tidak signifikan.
Model ini juga masih membatasi bahwa efek-efek eksternal lainnya, semisal suhu udara, jumlah populasi, dan kepadatan penduduk diasumsikan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah penderita.
Dedi menjelaskan, model yang mereka gunakan adalah model teori antrean.
Model tersebut mengasumsikan proses pasien datang ke rumah sakit sebagai penderita Covid-19 positif mengikuti proses antrean Markovian.
Setelah dilakukan pencocokan model terhadap data total penderita Covid-19 positif maka Dedi dan tim mampu menjelaskan banyak fenomena penting berdasarkan model yang mereka gunakan.
Baca: Strategi Menkumham agar Rutan dan Lapas Bebas dari Virus Corona
Baca: Mahfud MD: Pemda Diberi Keleluasaan Tangani Corona Tapi Harus Kompak dengan Pemerintah Pusat
Model PDDM merupakan penyempurnaan dari model statistika dasar yang dikembangkan oleh Heribertus Joko Kristadi.
Dedi menyatakan, bersama sejumlah mahasiswa S3 bimbingannya, model PDDM telah dicoba dan dibandingkan dengan berbagai model statistika, pembelajaran mesin (machine learning), dan runtun waktu seperti kurva Gompertz, Logistic model, Model Eksponensial, ARIMA, dan lain lain.
Namun, menurutnya model PDDM ini lebih baik untuk menggambarkan total data penderita Covid-19.
"Alasan pertama, model PDDM meskipun sederhana tetapi mampu memberikan akurasi prediksi satu harian ke depan yang sangat baik. Sebanding dengan kemampuan prediksi model machine learning yang kompleks," ungkap Dedi.
Alasan kedua, sambung dia, model PDDM juga memiliki sejumlah keunggulan yang tidak dimiliki oleh model-model lain yang diuji dan dikembangkan sebelumnya.
Berdasarkan model PDDM, Dedi mengklaim, rata-rata eror kesalahan prediksi selama dua minggu terakhir hanyalah sebesar 1,5 persen.
"Setelah diujikan prediksi selama empat hari terakhir sejak Kamis (26/3/2020) model ini ternyata sangat akurat, dengan eror yang dihasilkan selalu di bawah 1 persen, yakni maksimum sebesar 0.9 persen dan minimum 0.18 persen," papar Dedi.
Keunggulan lainnya dari model PDDM ini adalah kemampuannya untuk memprediksikan waktu terparah dan waktu berakhirnya pandemi Covid-19 di Indonesia.
Menurut Dedi dan tim, model PDDM ini akan terus diperbarui setiap hari sehingga prediksi dari model akan betul-betul mencerminkan perubahan dari data yang ada.
Lebih lanjut, kajian yang mereka sampaikan didasari oleh skenario optimis, namun dapat pula digunakan untuk menguji berbagai skenario akibat intervensi dan/atau pengaruh faktor-faktor penting eksternal.
Artikel ini telah tayang di Tribunjogja.com dengan judul Kapan Virus Corona Berakhir? Seperti Ini Prediksi Para Pakar Statistika UGM