TRIBUNNEWS.COM - Sekelompok ilmuwan mengungkap adanya potensi tsunami akibat longsor dasar laut di wilayah yang dipilih pemerintah Indonesia sebagai calon ibu kota baru.
Temuan ilmuwan ini tertulis dalam paper ilmiah berjudul 'Indonesian Throughflow as A Preconditioning Mechanism for Submarine Landslides in The Makassar Strait'.
Ditulis oleh Brackenridge dkk dan dipublikasikan oleh Geological Society of London di jurnal Lyell Collection pada awal April 2020.
Paper ilmiah itu pun kemudian menjadi viral di Indonesia.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengapresiasi penelitian tersebut.
Menurut Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono, penelitian tersebut mampu menjadi petunjuk mengenai adanya potensi tsunami akibat longsoran di dasar laut Selat Makassar.
Baca: BMKG Peringatan Dini Selasa 28 April 2020, Hujan Lebat di Wilayah Jawa Tengah
Baca: BMKG: Peringatan Dini Selasa 28 April 2020, Waspada 15 Wilayah Berpotensi Hujan Petir dan Angin
"Kami tentu mengapresiasi penelitian ini, karena selain memperkaya khasanah pengetahuan kita terkait bahaya sedimentasi dan longsoran di dasar laut, juga memberi petunjuk kepada kita adanya potensi bahaya tsunami akibat longsoran di dasar laut Selat Makassar," kata Daryono dalam keterangan tertulisnya yang diterima Tribunnews.com, Senin (27/4/2020) malam.
Menurut Daryono, penelitian ini juga dapat membantu untuk mengestimasi tingkat bahaya tsunami yang mungkin terjadi.
Dengan demikian, BMKG pun dapat menyiapkan strategi penanganannya.
"Hasil kajian ini dapat membantu kita dalam mengestimasi tingkat bahaya tsunami yang mungkin terjadi, sehingga kita dapat menyiapkan strategi mitigasinya," tutur Daryono.
Lebih lanjut, Daryono menyebutkan, kajian mengenai potensi longsoran dasar laut yang dikaitkan dengan risiko tsunami di Indonesia memang masih minim.
"Kajian mengenai potensi longsoran dasar laut yang dikaitkan dengan risiko tsunami di Indonesia masih sangat jarang, kebanyakan kajian risiko tsunami akibat gempa tektonik," kata Daryono.
"Semua ini merupakan tantangan bagi para ahli kebumian kita untuk mengkajinya," sambungnya.
Menurutnya, penelitian mengenai potensi longsoran bawah laut ini sangatlah penting.
Dengan adanya kajian yang membahas hal tersebut, maka kita dapat memecahkan misteri tsunami non tektonik yang terjadi sebelumnya.
Baca: BMKG: Peringatan Dini Selasa 28 April 2020, Waspada Cuaca Ekstrem di Sejumlah Wilayah
Selain itu, BMKG juga dapat menata langkah mitigasi dalam menghadapi potensi tsunami ini.
"Penelitian potensi longsoran bawah laut sangat penting, karena ini dapat menjadi kunci pembuka untuk menjawab misteri tsunami non tektonik masa lalu sekaligus untuk menata mitigasi tsunami akibat longsoran dasar laut di Indonesia ke depan," terangnya.
Sementara itu, Daryono juga mengatakan, baik tsunami akibat longsoran terkini, maupun tsunami masa lalu yang belum terungkap penyebabnya, merupakan pertanda bahwa wilayah perairan kita menyimpan potensi bahaya tsunami non tektonik yang cukup besar.
Sejumlah Peristiwa Tsunami di Indonesia Belum Terungkap Penyebabnya
Daryono mengungkapkan, sejumlah peristiwa tsunami Indonesia yang terjadi di masa lalu belum terungkap penyebabnya hingga saat ini.
Menurutnya, tsunami ini diduga berasosiasi dengan longsoran dasar laut.
Contohnya yaitu sejumlah tsunami berikut ini:
1. Tsunami Teluk Ambon 28 November 1708,
2. Tsunami Manggarai 14 April 1855,
3. Tsunami Bacan 10 Juni 1891,
4. Tsunami Saparua 20 Juni 1891,
5. Tsunami Pulau Sumber Gelap 16 Maret 1917, dan
6. Tsunami Halmahera Utara 2 April 1969.
"Dalam semua peristiwa tersebut, tsunami tidak didahului oleh aktivitas gempa tektonik," terang Daryono.
Baca: Di Hari Kesiapsiagaan Bencana, Rakyat Diminta Turut Serta Putus Mata Rantai Penularan COVID-19
Ia menambahkan, peristiwa tsunami Pulau Sumber Gelap di tahun 1917 juga belum diketahui penyebabnya hingga kini.
Menurut Daryono, tsunami yang teramati di Pulau Sumber Gelap ini memiliki ketinggian 1,5 meter.
Tsunami ini pun menimbulkan kerusakan parah di Pantai Pagatan Kalimantan Selatan.
Adakah kaitan peristiwa tsunami ini dengan fenomena longsoran dasar laut seperti yang dimaksud dalam kajian peneliti asing tersebut?
Menurut Daryono, hingga kini hal itu masih menjadi misteri.
"Tentu perlu ada kajian khusus yang mendalam termasuk kajian paleotsunami untuk menjawabnya," kata Daryono.
Selain Selat Makassar, Daryono mengatakan, beberapa wilayah perairan Indonesia diduga memiliki kawasan rawan longsor dasar laut yang dapat membangkitkan tsunami.
Baca: Munculnya Ribuan Cacing, Tanda Gempa atau karena Pengaruh Disinfektan? Ini Penjelasan Ahli
Oleh karena itu, menurut Daryono, sesungguhnya Indonesia membutuhkan banyak kajian potensi longsoran dasar laut.
Khususnya, di wilayah Samudra Hindia, Selat Sunda, Laut Flores, Laut Banda, Laut Maluku, dan Laut Utara Papu.
Sehingga kita sebenarnya membutuhkan banyak kajian potensi longsoran dasar laut, khususnya di samudra Hindia, Selat Sunda, Laut Flores, Laut Banda, Laut Maluku, dan Laut Utara Papua.
Lebih lanjut, Daryono mengungkapkan, sejumlah peristiwa tsunami mematikan di Indonesia, di antaranya diduga diamplifikasi oleh dampak longsoran dasar laut, seperti:
1. Tsunami Ambon pada 17 Februari 1674 (2.243 orang meninggal)
2. Tsunami Seram pada 30 September 1899 (4.000 orang meninggal)
3. Tsunami Flores pada 12 Desember 1992 (2.500 orang meninggal)
Baca: Peringatan Dini BMKG Selasa, 28 April 2020: Waspada 8 Wilayah Berpotensi Hujan Lebat
Daryono mengatakan, baru-baru ini Indonesia mengalami dua kali peristiwa tsunami destruktif akibat longsoran, yaitu Tsunami Selat Sunda akibat longsoran Gunung Anak Krakatau pada 22 Desember 2018 dan tsunami Teluk Palu akibat longsoran saat gempa Palu 28 September 2018.
Menurutnya, kedua bencana tsunami akibat longsoran ini menelan korban jiwa dan kerugian harta benda sangat besar.
Selain tsunami Selat Sunda dan Teluk Palu, Daryono menyebutkan, Indonesia juga pernah mengalami tsunami dahsyat akibat longsoran, seperti tsunami Krakatau 1883 yang menelan 36.000 korban jiwa dan Tsunami Waiteba, NTT 1979 yang menelan 539 korban jiwa dan 364 orang hilang.
(Tribunnews.com/Widyadewi Metta)