Dilansir Kompas.com, Minggu (1/5/2016), langkah awal pemerintahan Soeharto untuk menghilangkan perayaan May Day dilakukan dengan mengganti nama Kementerian Perburuhan pada Kabinet Dwikora menjadi Departemen Tenaga Kerja.
Hingga kini namanya menjadi Kementerian Ketenagakerjaan dan bukan Kementerian Perburuhan.
Selain itu Soeharto menggunakan Awaloedin Djamin untuk mengisi jabatan menteri di Departemen Tenaga Kerja, karena berlatar belakang perwira polisi.
Pada Mei 1966, Awaloedin mengusahakan agar Hari Buruh saat itu tidak dirayakan karena berkonotasi kiri. Tapi gagal, karena buruh masih kuat.
Barulah setahun kemudian dia berhasil menghapuskan peringatan Hari Buruh.
Baca: Liga Inggris Segera Comeback, Sergio Aguero Justru Khawatir
Baca: Perdebatan Petugas Medis dengan Pasien Positif Corona yang Mengaku Sehat, Tak Mau Diisolasi
Era reformasi
Caranya dengan melemparkan gagasan bahwa peringatan May Day selama ini telah dimanfaatkan oleh SOBCI/PKI.
Selanjutnya serikat buruh digiring untuk berorientasi ekonomis. Mulai dengan menyatukan seluruh serikat buruh yang tersisa dari huru-hara 1965 ke dalam Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI).
Lalu kemudian itu berubah menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).
Meski begitu, nasib buruh tidak banyak berubah. Organisasi tersebut dekat dengan pemerintah dan dinilai tidak independen karena didanai pemerintah.
Tuntutan mulai lagi saat era reformasi. Tak hanya buruh yang berdemo, tapi juga ribuan mahasiswa menuntut agar 1 Mei kembali dijadikan Hari Buruh dan Hari Libur Nasional.
Tapi demo berkembang tuntutannya saat era SBY. Mereka juga menuntut revisi UU Ketenagakerjaan hingga jaminan sosial.
Akhirnya itu membuahkan BPJS Kesehatan hingga BPJS Ketenagakerjaan.
Jadi hari libur nasional