TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta terkait kasus jual-beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama yang menjerat mantan Ketua Umum PPP, Romahurmuziy.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan permohonan banding Romahurmuziy.
Mantan Anggota DPR RI itu divonis satu tahun pidana penjara dan denda Rp 100 juta subsider tiga bulan kurungan.
Putusan banding itu lebih rendah dari putusan di tingkat pertama di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, di mana, Romy divonis dua tahun pidana penjara dan denda Rp 100 juta subsider tiga bulan kurungan.
Baca: Yasonna Lantik Irjen Andap Sebagai Irjen Kemenkumham, Brigjen Reinhard Jadi Dirjen PAS
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta itu mencederai rasa keadilan di masyarakat dan telah merusak sistem hukum pidana di Indonesia.
“Mestinya jelas bahwa orang yang disuap lebih tinggi hukumannya dari orang yang menyuap, tetapi yang terjadi justru sebaliknya dalam kasus ini. Ini jelas selain mencederai rasa keadilan masyarakat juga merusak sistem,” kata dia, Senin (4/5/2020).
Dia menilai peradilan di Indonesia terkadang tidak rasional dan bertentangan dengan akal sehat pada saat memutus suatu perkara.
Baca: Positif Covid-19, Enam WN India Dirawat di RS Pulau Galang
Menurut dia, hakim yang mempunyai kewenangan memutus perkara dan disejajarkan dengan wakil Tuhan di dunia seharusnya mempunyai kesadaran tinggi tentang "sakralitas" baik kedudukan maupun produk berupa putusan.
“Pada hakekatnya putusan pengadilan itu menentukan hidup seseorang. Utamanya pada perkara pidana, karena itu sikap yang tidak taat asas atau sistem bahkan dalam beberapa kesempatan memperlakukan putusan sebagai komiditi,” kata dia.
“Adalah sikap yang selain tidak sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat juga sikap yang jelas jelas mempermainkan bahkan mengkhianati Tuhan.”