Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menolak penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 menjadi Undang-Undang oleh DPR.
Dia mengatakan, ada sejumlah alasan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPR menolak Perppu No.1 Tahun 2020 berdasar sejumlah argumen yang mendasar dan substantif. Antara lain karena Perppu ini berpotensi melanggar konstitusi.
"Kami melihat Perppu ini bisa membahayakan negara karena punya potensi melanggar konstitusi. Sementara tujuannya untuk mengatasi Covid-19 beserta dampaknya tidak terlihat menjadi fokus utama," ujar Sukamta, dalam keterangannya, Rabu (6/5/2020).
Baca: Kronologi Lengkap Kecelakaan Maut Bus AKAP Restu Mulya Versus Truk Ikan di Paiton, Situbondo
Potensi pelanggaran konstitusi tersebut terlihat dari Perppu ini mereduksi peran dan kewenangan DPR dalam pembahasan dan penetapan UU APBN dengan Pasal 12 ayat 2 yang mendelegasikan perubahan postur anggaran melalui Peraturan Presiden.
Baca: YouTuber Ferdian Paleka Masih Jadi Buron Polisi, Ide Nge-prank Waria Ternyata dari Sohibnya
Wakil Ketua Fraksi PKS tersebut mengatakan hal itu melanggar ketentuan Pasal 23 UUD NRI 1945.
Karena substansi pasal tersebut mengapa APBN harus dibahas bersama antara pemerintah dengan DPR sebgaia disebut pada ayat 1 adalah supaya pembahasan uang rakyat ini bisa dilakukan secara terbuka, bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Baca: Kasih Ibu Sepanjang Masa, Ibu Muda Ini Rela Terpapar Covid-19 Demi Bayinya yang Positif Corona
"Dengan delegasi ke Peraturan Presiden maka perubahan dilakukan secara sepihak oleh pemerintah dan tidak ada transparansi prosesnya, hal ini bisa rawan penyelewengan anggaran meski pemerintah bilang Perppu ini hanya untuk tahun 2020," jelasnya.
Selain itu, potensi pelanggaran konstitusi lainnya terletak pada aturan kekebalan hukum Perppu yang dinyatakan pada pasal 27 ayat 2 bahwa anggota KSSK, sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, Pasal 27 ayat 3 yang menyatakan segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
"Presiden saja tidak kebal hukum, dan UUD NRI tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, dan adanya pengakuan yang sama di hadapan hukum. Hal ini bisa dibaca pada pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI tahun 1945. Aturan kekebalan hukum ini jelas melanggar prinsip 'equality before the law'," kata dia.
"Kita tentu tidak meghendaki uang triliunan rupiah jadi bancakan para penumpang gelap. Saya kira sudah ada contoh nyata soal akal-akalan anggaran ini berupa program kartu prakerja dengan pelatihan online senilai Rp5,6 triliun dengan menujuk 8 perusahaan digital sebagai mitra, yang mendapat banyak kritikan masyarakat," imbuh Sukamta.
Kemudian selanjutnya yakni pasal 27 ayat 1 Perppu yang meniadakan potensi kerugian negara atas biaya yang dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK.
Sukamta menilai hal tersebut telah mengeliminir peran BPK sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (5) UUD NRI 1945 yang memiliki kewenangan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara secara bebas dan mandiri.
"Jadi luar biasa sekali Perppu 1/2020 ini, sudah memberi kekebalan hukum masih ditambah setiap tindakan terkait biaya bukan termasuk kerugian negara. Sementara di dalam Perppu juga tidak diatur batasan defisit anggaran. Dengan kewenangan extra ordinary seperti itu sangat membuka ruang penyelewengan dan bisa ditunggangi pihak-pihak yang ingin ambil untung diatas penderitaan rakyat," tandasnya.