Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Paranormal Ki Gendeng Pamungkas menilai aturan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menimbulkan polarisasi di masyarakat.
Atas dasar itu, dia melalui tim kuasa hukum mengajukan permohonan uji materi terhadap sejumlah pasal di UU Pemilu kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
"Pemohon merasakan perpecahan cebong dan kampret yang mana terjadi terbelah dua masyarakat sehingga hal ini telah merusak sosial sehingga tidak baik untuk keutuhan NKRI," kata Tonin Tachta, kuasa hukum Ki Gendeng Pamungkas, pada dokumen pengajuan permohonan uji materi, seperti yang dipublikasikan pihak MK, Senin (11/5/2020).
Baca: Iran Buka Sementara Seluruh Masjid saat Kasus Virus Corona Belum Mereda
Dia menjelaskan kerugian pemohon terhadap pemberlakuan pasal tersebut.
Salah satunya pemohon merasakan akibat sinergi antara Presiden dengan DPR/MPR telah merugikan masyarakat di luar trias politika, karena segala sesuatu dapat dilanggar sebagaimana penanganan Covid-19.
"Memasukkan TKA Cina dalam situasi PSBB, Omnibus Law, pembuatan undang-undang, pembuatan Perppu dan seterusnya sehingga perlu diberi ruang kepada masyarakat untuk maju tanpa melalui partai," kata dia.
Menurut dia, perlu ada terobosan dalam pencalonan dan pemilihan umum Presiden.
Untuk diketahui, Paranormal Ki Gendeng Pamungkas mempunyai keinginan untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden dan atau wakil presiden Republik Indonesia.
Baca: Bantah 500 TKA China Masuk Indonesia, Pemerintah Tunda Izin Kedatangannya Sampai Situasi Membaik
Ki Gendeng Pamungkas ingin mencalonkan diri sebagai kepala negara melalui jalur perseorangan bukan dari jalur partai politik atau gabungan partai politik.
Atas dasar itu, dia mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Permohonan itu diterima pihak MK melalui aplikasi Simpel, aplikasi untuk mengajukan permohonan elektronik secara online, pada Minggu (10/5/2020).
Tonin Tachta, kuasa hukum Ki Gendeng Pamungkas, mengatakan pemohon merasa perlu untuk diberikan hak konstitusi akibat norma undang-undang yang tidak memberikan ruang kepadanya menjadi Calon Presiden atau Wakil Presiden.
"Sehingga mengajukan pendiriannya tersebut ke Mahkamah Konstitusi dalam suatu PUU guna menyatakan tidak sah norma yang gelap sehingga menjadi norma yang terang membuka jalan mencalonkan dirinya sebagai Calon Presiden atau Wakil Presiden pada pemilihan berikutnya," kata Tonin Tachta, pada dokumen pengajuan permohonan uji materi, seperti yang dipublikasikan pihak MK, Senin (11/5/2020).
Baca: Imbas Pandemi COVID-19, 7 Prosedur Ini Harus Dijalani Penumpang di Bandara Soekarno-Hatta
Dia mengungkapkan sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diuji materi.
Pasal tersebut, yaitu Pasal 1 angka 28, Pasal 221, Pasal 222, Pasal 225 ayat (1), Pasal 226 ayat (1), Pasal 230 ayat (2), Pasal 231 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 237 ayat (1), ayat (3), Pasal 238 ayat (1), ayat (3), Pasal 269 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 427 ayat (4) UU Pemilu.
Tonin menjelaskan pencalonan melalui jalur independen untuk menjadi Calon Presiden dan atau Wakil Presiden harus dibuka.
Berdasarkan UU Pemilu, kata dia, hanya partai politik atau gabungan partai politik yang boleh mencalonkan.
Baca: Geger Suara Dentuman Misterius di Jawa Tengah, Ini Dugaan BMKG
Menurut dia, Ki Gendeng Pamungkas beralasan tidak ingin maju dari jalur partai atau gabungan partai karena berakibat sumpah sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden sebatas dimulut karena hanya akan sebagai pekerja partai dan tunduk kepada ketua partai dan atau anggota/kader/pengurus partai sehingga akan menyulitkan mengamalkan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.
"Pemohon mengakui niat maju menjadi Calon Presiden dan/atau Wakil Presiden setelah dibukanya ruang tersebut setelah menghitung angka kelahiran kebangkitan sejarah Indonesia tahun 1928, 1945, 1966, 1998, dan sekarang 2020," kata dia.
Selama ini, Ki Gendeng Pamungkas telah menggunakan hak demokrasi dengan memilih anggota DPR dan DPD pada setiap pemilihan umum.