TRIBUNNEWS.COM - Pakar hukum tata negara dari Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Dr Isharyanto SH MHum, menanggapi adanya kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Menurut Dosen Fakultas Hukum UNS tersebut, menaikkan iuran BPJS Kesehatan sudah menjadi kewenangan presiden.
Namun, momentum hukum kenaikan iuran BPJS Kesehatan tidak tepat.
"Menaikkan iuran BPJS adalah kewenangan Presiden. Namun demikian, kenaikan kali ini momentum hukum tidak tepat," kata Isharyanto pada Tribunnews.com, Kamis (14/5/2020) siang.
Baca: Jokowi Naikkan Lagi Iuran BPJS Kesehatan, Pengamat Ekonomi: Jadi Kontroversial Saat Pandemi
Pasalnya, situasi di Indonesia sedang krisis akibat dampak pandemi Covid-19.
Selain itu, banyak masyarakat yang kehilangan pendapatan.
"Karena situasi sedang krisis karena pandemic covid-19 dan ada kemungkinan banyak masyarakat yang kehilangan pendapatan atau mengalami penurunan ekonomi," terangnya.
Mengingat kenaikan iuran BPJS sempat dibatalkan Mahkamah Agung (MA) pada akhir Februari 2020 lalu, Isharyanto menilai, pemerintah seakan-akan menunjukkan ketidakpatuhannya terhadap putusan MA.
"Sulit menebak jalan pikiran pemerintah dalam kasus ini karena seakan-akan menampakkan ketidakputuhan kepada putusan MA sebelumnya," kata dia.
Baca: Iuran BPJS Kesehatan Naik Lagi, KPCDI Minta Iuran Kelas 3 Tidak Dinaikkan
Lantas, apakah keputusan pemerintah ini masih tetap bisa berjalan meskipun sebelumnya telah dibatalkan MA?
Isharyanto menerangkan adanya istilah doktrin presumptio dalam hukum.
Dalam hal ini, keputusan pemerintah akan dianggap sah dan berlaku sepanjang belum dicabut atau dibatalkan oleh pengadilan.
Kendati demikian, Isharyanto menilai, kenaikan BPJS yang tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 ini berpotensi dipersoalkan kembali di MA.
Baca: Iuran BPJS Kesehatan Dinaikkan Lagi, Pengamat Ekonomi: Kualitas Layanan Juga Perlu Diperbaiki
Menurutnya, hal ini akan membuat siklus kebijakan menjadi kacau dan minim kepastian hukum.
"Ada potensi Perpres baru yang menaikkan iuran itu dipersoalkan di MA kembali."
"Maka siklus kebijakan akan kacau dan minim kepastian hukum," ungkapnya.
Pemerintah Kembali Naikkan Iuran BPJS
Dalam Perpres 64 Tahun 2020, terdapat kenaikan iuran bagi peserta mandiri segmen pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) yang diatur dalam Pasal 34.
Berikut rinciannya kenaikan iuran BPJS:
- Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 150.000, dari saat ini Rp 80.000.
- Iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp 100.000, dari saat ini sebesar Rp 51.000.
- Iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.
Untuk peserta mandiri kelas III, pemerintah memberi subsidi Rp 16.500, sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500.
Namun, subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp 7.000, pada 2021 mendatang.
Dengan demikan, yang harus dibayarkan peserta mandiri kelas III adalah Rp 35.000.
Sebelumnya, kenaikan BPJS Kesehatan ini telah dibatalkan MA berdasarkan Perpres 75 Tahun 2019 melalui putusan MA Nomor 7/P/HUM/2020.
Namun, pemerintah mengklaim bahwa diterbitkannya perpres baru, yakni Perpres 64 Tahun 2020 sebagai revisi Perpres 75 Tahun 2019 tersebut adalah untuk lebih memberikan perlindungan kesehatan masyarakat secara keseluruhan.
Baca: Putusan MA yang Batalkan Kenaikan Iuran BPJS Final dan Mengikat
"Ini bukan jangka pendek, tapi jangka panjang supaya ada kesinambungan dan kepastian," kata Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani, seperti yang dikutip dari Kompas.com, Kamis (14/5/2020).
Pemerintah juga dikatakannya telah melakukan dengan melakukan perbaikan pelayanan kesehatan sesuai ketentuan perundangan.
Hal tersebut dilakukan untuk memberikan jaminan kesehatan yang lebih baik kepada seluruh rakyat.
Presiden Didesak Kaji Ulang Kenaikan BPJS
Diberitakan Tribunnews.com sebelumnya, menanggapi kenaikan iuran BPJS, Anggota DPR RI Komisi IX DPR fraksi Partai Gerindra Putih Sari mendesak pemerintah mengkaji ulang Perpres kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu.
"Saya secara pribadi meminta pemerintah mengkaji kembali Perpres kenaikan iuran BPJS Kesehatan, dan mencari jalan lain yang lebih bijaksana," kata Putih Sari, Kamis (14/5/2020).
Baca: Tulislah Penjumlahan yang Hasilnya Bilangan 5, Soal dan Jawaban SD Kelas 1-3 TVRI
Baca: Bahaya Stunting dan Solusi New Normal di Masa Pandemi
Baca: 4 Fakta Uang Palsu Rp 3 Miliar di Tasikmalaya, Pelaku Sedang Cari Orang Pintar
Di tengah adanya serangan wabah Covid-19, menurut Putih Sari, Perpres itu dinilai kurang bijak dan waktunya tidak tepat.
"Penyesuaian tarif iuran BPJS Kesehatan agar sustainibilitas program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) memang harus terus dipertahankan, tetapi keputusan kenaikan iuran BPJS Kesehatan tidak bijaksana dan di waktu yang tidak pas," ujarnya.
"Dengan pandemi Covid-19 membuat kondisi ekonomi masyarakat sangat berat. Banyak masyarakat yang terkena PHK," imbuhnya.
Selain itu, Putih Sari mengimbau pemerintah untuk fokus terlebih dahulu dalam menangani wabah Covid-19 beserta dampaknya dengan program-program yang sudah diputuskan.
"Penanganan wabah Covid-19 masih berlangsung, pemerintah harus fokus dulu dalam penanganan ini dengan memastikan bahwa program-program jaringan pengaman sosial yang sudah diputuskan berjalan dan bisa benar-benar tepat sasaran, sehingga meringankan beban masyarakat terutama kelompok menegah ke bawah," katanya.
(Tribunnews.com/Widyadewi Metta, Chaerul Umam, Kompas.com/Deti Mega Purnamasari)