Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA), Abdullah, menilai pemerintah sudah melaksanakan putusan MA nomor
7 P/HUM/2020 perkara Hak Uji Materiil, Kamis 27 Februari 2020 yang membatalkan kenaikan iuran BPJS per 1 Januari 2020.
Abdullah menjelaskan tugas MA sudah selesai setelah membatalkan pasal regulasi yang diajukan Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI), dalam Uji Materiil pada beberapa waktu yang lalu.
Dia mengungkapkan, pemerintah sudah melaksanakan putusan MA, lalu, menerbitkan regulasi berupa Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Baca: Sosok di Balik Desain Masjid Istiqlal,Arsiteknya Wujudkan Pesan Soekarno Tentang Kerukunan Beragama
Baca: MUI Terbitkan Fatwa Baru Soal Salat Idul Fitri 2020 di Tengah Pandemi, Bisa Berjamaah atau Sendiri
Baca: Donald Trump Menolak Anggapan Ahli Penyakit Menular untuk Tidak Membuka Lockdown AS
Menurut dia, MA tidak mencampuri kewenangan pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan itu.
Pemerintah, kata dia, mempunyai pertimbangan tertentu untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
"Penyusunan regulasi baru tersebut merupakan kewenangan pemerintah," kata dia, saat dihubungi, Rabu (13/5/2020) malam.
Presiden Joko Widodo membuat kebijakan menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk kelas I dan kelas II. Sedangkan, untuk kelas III akan dinaikkan pada 2021.
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu diatur di Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Rencana, pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan itu hanya berselang beberapa bulan dari putusan MA perkara Nomor 7 P/HUM/2020 perkara Hak Uji Materiil, Kamis 27 Februari 2020 putus yang membatalkan kenaikan iuran BPJS per 1 Januari 2020.
MA menerima dan mengabulkan sebagian uji materi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang diajukan KPCDI.
"Penerbitan regulasi baru didasarkan pada analisis kebutuhan, kondisi saat ini, kemampuan dan komponen penghitungan yang berbeda dengan regulasi lama," kata Abdullah.
Dia mencontohkan penundaan pemberlakuan bagi golongan kelas III. Penundaan itu merupakan bentuk kebijakan dan pasti ada pertimbangan, apalagi melihat kondisi terkini.
Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 150.000, dari saat ini Rp 80.000. Iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp 100.000, dari saat ini sebesar Rp 51.000. Iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.
Namun, pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500. Kendati demikian, pada 2021 mendatang, subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp 7.000, sehingga yang harus dibayarkan peserta adalah Rp 35.000.
"Regulasi baru tersebut jangan hanya dilihat besaran angka saja, tetapi juga mempertimbangkan segala hal secara komprehensif," tambahnya.