TRIBUNNEWS.COM - Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menganggap tidak perlu menerapkan langkah pencetakan uang di tengah keterbatasan ekonomi di tengah pandemi Covid-19.
Menurutnya tindakan tersebut justru akan menimbulkan penumpang gelap dan kesan negatif di antara masyarakat.
Seperti diberitakan, berbagai usulan agar bank sentral Indonesia, Bank Indonesia (BI) mencetak uang sebagai solusi tengah krisis pandemi Covid-19 timbul dari berbagai kalangan.
Mulai dari Kadin hingga anggota DPR.
Mereka di antaranya menganggap tambahan uang melalui pencetakan uang sebagai solusi menutup krisis ekonomi negara.
Sri Mulyani saat telepon interaktif dalam tayangan ROSI di Kompas TV pada Kamis (14/5/2020) menjawab pertanyaan pembawa acara mengenai usulan cetak uang.
Baca: Ibu Kota Negara Baru Bukan Prioritas sampai 2021, Sri Mulyani: Tak Ada Belanja Pengeluaran IKN
Dirinya menyampaikan saat ini Pemerintah BI telah melakukan langkah serupa dengan pencetakan uang.
"Contohnya tadi kita kan defisit nambah, BI kan sekarang sudah bisa membeli surat berharta negara, kalau dia membeli surat berharga negara itu dia nyetak duit," paparnya dalam tayangan Youtube KompasTV.
"Intinya kan sebetulnya ga akan percetakan uang."
Lalu menyinggung besaran uang yang dicetak, Sri Mulyani beralasan harus melihat data kebutuhan dan berbagai pertimbangan.
"Kita semuanya (lihat) dari nsisi quality maker akan terus melihat kebutuhannya di mana, dari sisi kebijakan moneter, sisi fiskal, dari sisi OJK, kita terlalu sedkit atau terlalu banyak," katanya.
"Size-nya ini kita harus melihat berdasar data, kbutuhannya apa, bansos dulu, kita tambahin, apakah bansos kurang kita lihat, apakah yang sekarang dibutuhkan bansos atau kegiatan ekonomi pulih, jadi itu kemudian yang akan kita lihat."
Tak lupa, Sri Mulyani juga berpesan jangan sampai Perppu Corona yang telah diterima DPR menjadi Undang-Undang ini dijadikan alat untuk penumpang gelap di tengah krisi.
Baca: Dahlan Iskan Kembali Bicara Soal Usulan Cetak Uang, Bagi-bagi Jatah Itu Tidak Mudah. . .
"Jangan sampai Perppu ini dijadikan alat untuk penumpang gelap," jelasnya.
"Maka kalau policy-policy yang sifatnyan langsung mencetak duit disebarin itu udah pasti menciptakan persepsi mengenai o ini sebenarnaa mau membantu orang-orang yang ga perlu dibantu barangkali, mungkin kan," imbuh dia.
Menkeu Pelit
Lantas dia menguraikan yang telah dilakukan Pemerintah.
Kebijakan yang dimaksud contohnya adalah Bansos.
"Kita lihat di mana lokasinya, Pemda pakai apa, Pemerintah Pusat pakai apa, jalurnya apakah pakai dana desa apakah PKH apa pakai Kartu Sembako," terang dia.
"Itu semua kita berlakukan terus menerus, poerbaikan berdasarkan input-input yang berdasar dari masyarakat dan kementerian."
Selanjutnya, Sri Mulyani menjawab pertanyaan Rosi mengenai langkahnya yang dianggap pelit oleh masyarakat terkait anggaran corona.
"Tapi menteri keuangan disebut pelit itu adalah sesuatu yang bagus, karena kalau anda punya menteri keuangan yang ogal-ogalan, anda semua deg-degan," ujarnya.
"Jangan lupa itu bukan duit menteri keuangan, itu duit rakyat, jadi justru berterimakasih."
Lihat videonya mulai menit 4.55:
Dampak Buruk Cetak Uang
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira menyayangkan usulan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI yang meminta Bank Indonesia (BI) untuk mencetak banyak uang demi menangani dampak virus corona (Covid-19).
Menurutnya, harus ada sejumlah kajian yang harus dilakukan terkait dampak dari penerbitan rupiah ini jika usulan Banggar 'dikabulkan'.
Mulai dari dampak ke inflasi hingga dampaknya ke pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Jadi harus ada kajian terkait dampak ke inflasi, dampak ke stabilitas rupiah, kemudian juga ke sektor riil, pertumbuhan ekonomi, sampai ke serapan tenaga kerja," ujar Bhima, kepada Tribunnews, Jumat (8/5/2020).
Menurut Bhima, struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saat ini pun tidak dalam kondisi yang baik.
Baca: Ekonom Ingatkan Potensi Hyper Inflasi Jika BI Kabulkan Usulan Banggar DPR Cetak Uang Rp 600 T
Sehingga ada sejumlah kerugian yang dikhawatirkan terjadi, jika rupiah dalam jumlah fantastis itu diterbitkan.
Satu diantaranya terkait kemungkinan adanya kepentingan dari korporasi yang meminta suntikan dana.
"Struktur APBN saja kan sudah nggak sehat. Di mana porsi belanja, pembayaran bunga utangnya besar. Jadi BI cetak uang kalau masuk ke APBN untuk bayar utang ya sama saja, atau malah lari ke korporasi kakap yg minta di injeksi oleh dana APBN," jelas Bhima.
Oleh karena itu, ia menilai jika usulan cetak uang tersebut dikabulkan, maka bisa saja akan muncul kasus-kasus serupa dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Ini bisa jadi moral hazard dan penyimpangan besar seperti kasus-kasus kejahatan keuangan BLBI," kata Bhima.
Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan, BI tidak akan mencetak uang untuk menangani dampak corona.
Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam live streaming video conference terkait Perkembangan Ekonomi Terkini, Rabu (6/5/2020).
Menurutnya, hal tersebut bukan merupakan praktik kebijakan moneter yang terbiasa dilakukan BI.
"Pandangan-pandangan BI (perlu atau tidaknya) mencetak uang, itu bukan praktik kebijakan moneter yang lazim dan tidak akan dilakukan di Bank Indonesia," ujar Perry, pada kesempatan itu.
Perry menambahkan, kebutuhan masyarakat bisa diukur dari angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Namun demikian, ia menekankan praktik ini tentunya harus sesuai dengan tata kelola Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Misalnya pertumbuhan ekonomi 5 persen dan inflasinya 3 persen, kurang lebih kenaikan pencetakan uang sekitar 8 persen. Kalau ingin tambah stok barangkali 10 persen, keseluruhan proses ini sesuai tata kelola dan diaudit BPK," kata Perry.
Perlu diketahui, pernyataan Perry itu disampaikan untuk menjawab usulan Badan Anggaran (Banggar) DPR yang meminta BI agar melakukan pencetakan uang dalam upaya menangani dampak corona.
Jumlah uang yang diusulkan untuk dicetak pun mencapai Rp 600 triliun.
(Tribunnews.com/ Chrysnha, Fitri Wulandari)