News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

67 Tahun Cak Nun Trending Twitter, Sosok Emha Ainun Najib: Lengsernya Soeharto sampai Tolak Presiden

Penulis: Facundo Chrysnha Pradipha
Editor: Tiara Shelavie
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun.

TRIBUNNEWS.COM - Tepat di tanggal 27 Mei 67 tahun yang lalu, lahir seorang laki-laki bernama Muhammad Ainun Najib.

Tokoh budayawan yang dikenal dengan nama Emha Ainun Najib, juga terkenal dipanggil Cak Nun menjadi topik trending di jagat Twitter Indonesia hari ini Rabu (27/5/2020).

Tanda pagar #67TahunCakNun pun menjadi bagian dari topik teratas trending Twitter Indonesia.

Penelusuran Tribunnews.com hingga Rabu siang, lebih dari 26.000 cuitan membubuhkan #67TahunCakNun.

Warganet ikut merayakan usia 67 tahun tokoh intelektual muslim Indonesia yang juga sastrawan ini.

67 tahun Cak Nun Trending Twitter

Selain berkecimpung di dunia seni dan sastra, pria kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953 ini juga 'disegani'.

Termasuk diminta hadir oleh Soeharto ke Istana Negara saat detik-detik lengsernya Presiden ke-2 RI di era reformasi Mei 1998.

Baca: Cerita Gus Sholah sebelum Wafat, Mimpi Bertemu Gus Dur hingga Sampaikan Cita-citanya kepada Cak Nun

Cak Nun hadir bersama tokoh-tokoh lainnya seperti Gus Dur, Cak Nur, dan lainnya sesuai permintaan Soeharto.

Bahkan Cak Nun sebelumnya menjadi satu dari empat tokoh dalam perumusan empat prosedur turunnya Soeharto di tengah gelombang besar desakan rakyat saat itu.

Cak Nun dan Lengsernya Soeharto

Mengutip CakNun.com dalam artikel berjudul Memproses Presiden Soeharto Lengser, diceritakan bahwa Cak Nun berperan penting menjelang Soeharto lengser.

Bersama Cak Nur, Malik Fajar, Oetomo Danandjaya, dan Drajat, Cak Nun merumuskan empat prosedur turunnya Soeharto dari pemerintahan.

Kala itu pada 16 Mei malam, para tokoh itu rapat merumuskan empat prosedur turunnya Soeharto dengan pertimbangan empat prosedur ini dapat meminimalisasi korban, terutama di pihak rakyat dan mahasiswa, serta efektif secara kenegaraan.

Kemudian esoknya pada 17 Mei 1998, Cak Nun bersama empat tokoh tersebut menggelar konferensi pers di Hotel Wisata Jakarta untuk menyampaikan dan meminta agar Soeharto segera turun dari jabatan.

18 Mei 1998, di luar dugaan, atas permintaan Cak Nun dan empat tokoh ini, Mensekneg Saadillah Mursyid mau dan memberanikan diri untuk menyampaikan usulan serta mekanisme lengser yang telah dirumuskan tadi.

Soeharto ()

Ternyata Soeharto menyatakan bersedia dan setuju, tetapi meminta ditemani dalam proses turun dari jabatan Presiden. Ini adalah satu tahap krusial yang telah terlampaui dengan baik.

Pada 18 Mei itu, pukul 20.00 WIB, Soeharto menelepon Cak Nun dan Cak Nur.

“Mohon kita ketemu besok untuk menyiapkan agar lengsernya saya tidak menimbulkan guncangan dan korban," tulis ucapan Soeharto dalam artikel itu.

Tanggal 19 Mei pagi hari mereka bertemu di Istana.

Baca: Hari Ini, 22 Tahun Lalu Soeharto Mundur dari Jabatan Presiden Republik Indonesia

Soeharto minta 5 orang ini dilengkapi menjadi 9 orang dari para sesepuh, termasuk KH Ali Yafie dan Gus Dur.

Cak Nun dan Cak Nur diceritakan meneguhkan saran agar Soeharto turun dari jabatan Presiden.

Soeharto tertawa lebar ketika Cak Nun berempati dengan mengemukakan, “Pak Harto tidak jadi Presiden kan “ora pathèken”. Wong sudah 32 tahun menjabat."

Cak Nur menambahkan: “Bukan hanya ora pathèken, tapi sudah tuwuk.” Itu bahasa Jombang untuk “sangat puas sampai hampir bosan”.

Tak Mau Diundang ke Istana

Sementara dikutip dari TribunJakarta.com, Cak Nun pernah membuat pmenyatakan mengejutkan karena enggan ke Istana Negara jika diundang presiden sekalipun.

Budayawan Emha Ainun Najib alis Cak Nun mengaku tak pernah mau dipanggil ke Istana Negara oleh Presiden.

Cak Nun kemudian membeberkan alasannya bertindak demikian.

Hal tersebut disampaikan Cak Nun saat menjadi narasumber di acara Catatan Najwa, memperingati dua tahun kasus Novel Baswedan.

Awalnya, Cak Nun mengatakan dirinya akan selalu melakukan sesuatu sesuai dengan pernyatannya.

"Kalau saya bilang A, saya melakukannya sampai umur 66, sampai sekarang A, A," kata Cak Nun, dikutip TribunJakarta.com dari YouTube Najwa Shihab, pada Minggu (5/5/2019).

Cak Nun menegaskan jika ia menyebut dirinya tak bisa dipanggil oleh presiden maka hal tersebut akan ia tepati.

"Sampai sekarang kalau saya bilang 'hei saya tidak bisa dipanggil presiden, saya yang berhak panggil presiden, karena aku rakyat, aku yang bayar," sambung Cak Nun disambut tepuk tangan riuh hadirin.

"Itu saya lakukan, dan saya tidak pernah mau dipanggil ke istana, dan saya tidak pernah bangga sama sekali (kalau ke istana), hina saya kalau sampai ke sana," ucap Cak Nun dengan nada tinggi.

Cak Nun mengungkapkan, apa yang ia sampaikan bukanlah kesombongan.

Ia kemudian membeberkan pandangannya.

Ribuan warga Semarang, Jawa Tengah, dan Jamaah Maiyah tumpah ruah memadati Klenteng Sam Poo Kong dalam acara ''Sinau Bareng Cak Nun, Kiai Kanjeng bersama Polda Jateng, Sam Poo Kong, dan Tribun Jateng'' yang belangsung Kamis (18/4/2019) malam. Tribun Jateng/Hermawan Handaka (Tribun Jateng/Hermawan Handaka)

Cak Nun menilai kedaulatan berada di tangan rakyat seutuhnya, karena Indonesia adalah negara demokrasi.

Ia memandang seseorang yang dipilih rakyat untuk menjadi presiden hanya karyawan kontrak selama lima tahun.

"Itu bukan soal kesombongan, lo katanya rakyat, rakyat kan yang megang kedaulatan, katanya demokrasi," ujar Cak Nun.

"Lo presiden kan outsourcing, buruh 5 tahun, buruh lima tahun kok manggil-manggil bos," imbuhnya disambung gelak tawa hadirin.

"Buruhnya melamar ketemu bos, kan begitu, kalau sudah melamar, saya tidak bisa (menolak), namanya tamu harus kita hormati, tapi saya bilang, 'Tuhan kalau tidak baik yang tidak usah datang, bagaimana caranya'," sambungnya.

Cak Nun mengatakan, akhirnya tamu yang ia maksud tidak pernah bertemu semuanya.

Profil Cak Nun

TribunnewsWiki.com memberitakan, lulus dari pendidikan dasar di Jombang pada 1965, Muhammad Ainun Najib atau Cak Nun kemudian melanjutkan sekolahnya ke salah satu SMP Muhammadiyah di Yogyakarta.

Cak Nun sempat mengenyam pendidikan di Pondok Modern Darussalam Gontor di Ponorogo setelah lulus dari SMP.

Namun pendidikannya di Gontor tidak sampai ia tamat. Cak Nun ‘diusir’ dari Gontor karena telah memimpin demonstrasi pada pertengahan tahun ketiganya di sana.

Cak Nun mendemo pimpinan pondok karena sistem yang dinilainya kurang baik (1). 

Emha Ainun Najib kemudian pindah ke Yogyakarta untuk sekolah di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Di sini ia berhasil menamatkan studinya pada tahun 1971.

Lulus dari SMA, Cak Nun sempat melanjutkan pendidikannya di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.

Lagi-lagi ia memilih untuk tidak menamatkan pendidikannya. Kuliahnya di UGM hanya berakhir di Semester 1.

Karier

Emha Ainun Najib sempat hidup menggelandang selama 5 tahun, sejak 1970 sampai 1975.

Ia belajar sastra kepada guru yang sangat ia kagumi, seorang sufi misterius, Umbu Landu Paranggi. Umbu bahkan telah berpengaruh cukup banyak dalam kehidupan Cak Nun.

Kariernya dimulai ketika ia menjadi Pengasuh Ruang Sastra di Harian Masa Kini, Yogyakarta pada 1970.

Kariernya di media kemudian merangkak naik ketika Cak Nun menjadi wartawan dan redaktur di media yang sama pada 1973 sampai 1976.

Cak Nun juga dikenal aktif menulis puisi dan menjadi kolumnis di berbagai media.

Ia juga telah menulis sekitar 30-an buku esai.

Buku-bukunya di antaranya Dari Pojok Sejarah (1985); Sastra Yang Membebaskan (1985); Secangkir Kopi Jon Pakir (1990); Markesot Bertutur (1993); Markesot Bertutur Lagi (1994); Opini Plesetan (1996).

Cak Nun juga juga menulis buku Gerakan Punakawan (1994); Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996); Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994); Slilit Sang Kiai (1991); Sudrun Gugat (1994); Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995); Bola- Bola Kultural (1996); Budaya Tanding (1995).

Kemudian, Titik Nadir Demokrasi (1995); Tuhanpun Berpuasa (1996); Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997); Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997), serta masih banyak lagi buku-bukunya yang lain.

Belum lama ini, bukunya yang berjudul Kiai Hologram (2018), Pemimpin yang “Tuhan” (2018), dan Markesot Belajar Ngaji (2019) juga sudah terbit.

Selain buku esai, belasan buku puisi juga telah ditulis Cak Nun.

Beberapa buku puisi karyanya seperti “M” Frustasi (1976); Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978); Sajak-Sajak Cinta (1978); Nyanyian Gelandangan (1982); 99 Untuk Tuhanku (1983).

Ada juga Suluk Pesisiran (1989); Lautan Jilbab (1989); Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990); Cahaya Maha Cahaya (1991); Sesobek Buku Harian Indonesia (1993); Abacadabra (1994); dan Syair Amaul Husna (1994).

Setelah aktif sebagai wartawan dan redaktur, Cak Nun kemudian memimpin Teater Dinasti, Yogyakarta dan grup musik Kiai Kanjeng hingga sekarang.

Di Teater Dinasti. bersama Halimd HD, networker kesenian Sanggarbambu, Cak Nun juga menghasilkan beberapa reportoar serta pementasan drama.

Karya-karya Cak Nun di antaranya Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan ‘Raja’ Soeharto); Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan); Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern); serta Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).

Cak Nun juga aktif bersama Teater Salahudin.

Bersama Teater Salahudin, Cak Nun telah memantaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun); Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya, dan Makassar); dan Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).

Ia Juga mementaskan Perahu Retak pada 1992 tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram.

Cak Nun juga pernah mengikuti berbagai kegiatan seperti Lokakarya Teater di Filipina pada 1980 dan International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat pada 1984.

Pada tahun 1984, Cak Nun juga pernah mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda dan Festival Horizonte III di Berlin, Jerman pada 1985 (2).

Pada tahun 1990-an, Cak Nun menyelenggarakan acara Kenduri Cinta di Taman Ismail Marzuki.

Kenduri Cinta sendiri merupakan forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang dikemas sangat terbuka, nonpartisan, ringan, dan dibalut dalam gelar kesenian lintas gender.

Sebelumnya Cak Nun juga hampir rutin berkeliling ke berbagai wilayah di Indonesia, bahkan sampai ke luar negeri.

Dalam sebulan, rata-rata Cak Nun berkeliling sebanyak 10 sampai 15 kali bersama grup musik Kiai Kanjeng.

Hal ini ia lakukan di samping kegiatan rutinnya bersama komunitas masyarakat Padhangmbulan.

Dalam setiap pertemuan sosial itu, Cak Nun melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metode perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.

Meski telah mengisi berbagai pengajian di mana-mana, namun Cak Nun selalu menolak keras ketika dipanggil kiai.

Ia lebih senang ketika kehadirannya bersama sang istri, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi dan kelompok musik Kiai Kanjeng.

Dalam setiap pertemuan, pembicaraan yang ada sering sekali menyentuh permasalahan-permasalahan pluralisme di tengah masyarakat.

Cak Nun selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual.

Dalam hal pluralisme, menurut Cak Nun sendiri tidak ada yang perlu dipersoalkan dari adanya sebuah perbedaan.

Menurutnya, sejak zaman Kerajaan Majapahit perbedaan sudah ada. Namun hal itu tidak pernah menjadi persoalan. Masyarakat tetap bisa hidup rukun, saling berdampingan.

Dalam konteks agama, pluralisme bukan berarti menganggap semua agama itu sama.

“Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua,” kata Emha Ainun Najib seperti dimuat dalam biografiku.com.

Pandangan-pandangannya seperti menjadi oase yang menyegarkan hati dan pikiran. Terlebih di tengah suasana yang semakin memanas.

Di penghujung Orde Baru, menjelang lengsernya Presiden Soeharto, Cak Nun merupakan salah satu tokoh yang dipanggil ke istana untuk dimintai nasihatnya.

Akhirnya Cak Nun berhasil membujuk Soeharto untuk bersedia melepaskan jabatannya sebagai presiden.

Bahkan kalimat Cak Nun, “Ora dadi presiden ora patheken” diadopsi oleh Soeharto ketika ia mengundurkan diri sebagai presiden.

Saat ini Emha Ainun Najib masih aktif mengisi pertemuan-pertemuan rutin seperti Kenduri Cinta, Macapat Syafa’at, Padhangmbulan, dan lain sebagainya.

Selain mengisi pengajian, ia juga masih aktif menulis. Selain dibukukan, tulisan-tulisannya juga dimuat dalam caknun.com.

Info Pribadi
Nama
Muhammad Ainun Najib
Nama Lain
Emha Ainun Najib, Cak Nun
Lahir
Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953
Alamat
Jl. Barokah No. 287, Kadipiro, Ngestiharjo, Kashihan, Bantul, DIY 55182

Riwayat Pendidikan
Sekolah Dasar di Jombang (1965)
SMP Muhammadiyah di Yogyakarta (1968)
Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo (1968 – tidak selesai)
SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta (1971)
Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta (1971 – tidak tamat)

Ayah Muhammad
Ibu Chalimah
Istri Neneng Suryaningsih (cerai 1985), Novia Sanganingrum Saptarea Kolopaking (1997 sampai sekarang)
Anak Sabrang Mowo Damar Panuluh, Aqiela Fadia Haya, Jember Tahta Aunillah, Anayallah Rampak Mayesha, Ainayya Al-Fatihah

Situs www.caknun.com

(Tribunnews.com/Chrysnha/TribunJakarta.com/Rr Dewi Kartika H)(TribunnewsWiki/Widi)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini