TRIBUNNEWS.COM - Majelis hakim Pengadilan Negeri Tata Usaha Jakarta (PTUN) telah memutuskan jika Presiden Joko Widodo dan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) bersalah atas tindakan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat.
Pemblokiran internet ini dilakukan pada Agustus 2019 lalu, menyusul kerusuhan yang terjadi di Papua.
"Menyatakan tindakan pemerintah yang dilakukan tergugat 1 dan 2 adalah perbuatan melanggar hukum,” kata Hakim Ketua Nelvy Christin dalam sidang pembacaan putusan, Rabu (3/6/2020) dikutip dari Kompas.com.
Pihak tergugat 1 adalah Presiden Jokowi, sedangkan tergugat 2 adalah Menteri Komunikasi dan Informatika.
Menurut majelis hakim, internet bersifat netral. Bisa digunakan untuk hal yang positif ataupun negatif.
Oleh karena itu, majelis hakim menilai pemerintah melanggar hukum atas tindakan throttling bandwith yang dilakukan pada 19-20 Agustus 2019.
Tindakan pemutusan akses internet sejak 21 Agustus sampai 4 September 2019, dan lanjutan pemutusan akses internet sejak 4 sampai 11 September 2019.
Baca: PTUN Vonis Jokowi dan Menkominfo Langgar Hukum Soal Blokir Internet di Papua, Ini kata Politikus PKS
Baca: Komisi I DPR Ancam Akan Surati Jokowi, Dewas TVRI Tidak Menjalankan Rekomendasi Pemilihan Dirut
Baca: Kata SBY soal Kerusuhan di AS: Julukan Negara Super Power hingga Kemungkinan Trump Gunakan Militer
Majelis hakim akhirnya menghukum tergugat 1 (Jokowi) dan Tergugat 2 (Menkominfo) dengan membayar biaya perkara sebesar Rp 457.000.
Adapun penggugat dalam perkara ini adalah gabungan organisasi, yakni AJI, YLBHI, LBH Pers, ICJR, Elsam, dan lain-lain.
Baca: Gelar Upacara Virtual Hari Lahir Pancasila, Mentan: Saatnya Kita Menjadi Garda Tedepan Pancasila
Baca: Melawan Saat Hendak Ditangkap, Pelaku Penghinaan Terhadap Kapolda Papua Terpaksa Ditembak
Baca: Polda Papua Bantah Ada Tahanan Positif Corona, Itu Hoax
Kuasa hukum penggugat, Muhammad Isnur, turut mengunggah video pembacaan putusan di akun Twitter-nya, @madisnur.
Sebelumnya, saksi Ahli menyebut jika tindakan pemblokiran internet di tanah Papua tak dibenarkan dalam prinsip HAM.
Dilansir Kompas.com, Dosen Ahli Fakultas Hukum Univeristas Airlangga Herlambang Perdana Wiratama mengatakan, throttling (pelambatan akses) dan blocking (pemblokiran) internet tidak dibenarkan terkait prinsip hak asasi manusia (HAM).
Hal itu ia ungkapkan saat menjadi saksi ahli 1 dalam sidang gugatan penutupan akses internet di Papua dan Papua Barat saat terjadi konflik Agustus 2019 lalu.
"Justifikasi throttling apalagi blocking tak dibenarkan dalam HAM," kata Herlambang di Pengadilan Tata Usaha Negara ( PTUN), Rawamangun, Jakarta Timur, Rabu (11/3/2020).
Pernyataan tersebut disampaikan Herlambang menjawab pertanyaan majelis hakim dengan Hakim Ketua Nelvy Christin yang meluruskan pertanyaan pihak tergugat.
Tergugat menanyakan tentang kapan dan dalam keadaan apa pemerintah harus melakukan throttling.
Herlambang menjelaskan, ketika pembatasan akan dilakukan, maka akan ada mekanisme internal yang dilakukan pemerintah untuk mendapatkan informasi.
Hal tersebut, kata dia, bisa menjadi bahan pertimbangan dari pemerintah saat akan melakukan sebuah tindakan.
"Informasi itu dikelola pemerintah. Di saat apa dia bisa mengeluarkan? Di saat pada titik standar-standar. Kalau dari kacamata HAM, pemerintah punya kewajiban di situ untuk memberikan jaminan perlindungan HAM, termasuk ketika melakukan pembatasan dalam alasan-alasan Pasal 19 Ayat 3 UU ICCPR," kata dia
Alasan-alasan tersebut antara lain, soal keamanan nasional, kepentingan publik, dan beberapa hal lainnya.
Ia mencontohkan, pemerintah saat ini bisa mengeluarkan perintah agar publik tidak keluar terlebih dahulu karena kasus virus corona.
Catatan redaksi: Berita ini telah mengalami perubahan judul dan isi dikarenakan adanya kesalahan sumber awal dan intepretasi atas putusan PTUN. Atas kekeliruan, redaksi meminta maaf.
(Tribunnews.com/ Siti Nurjannah Wulandari/ Kompas.com/ Deti Mega)