TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kematian warga Afrika-Amerika George Floyd akibat ditindih oleh petugas polisi dengan lutut hingga meninggal dunia memicu kegeraman warga Amerika Serikat.
Kematian George Floyd dianggap sebagai tindakan rasis aparat kepolisian kepada kelompok warga kulit hitam di Amerika Serikat.
Baca: Diputus Bersalah Blokir Internet Papua, Ini Kata Menkominfo
Gelombang demonstrasi yang awalnya di Minneapolis meluas hingga ke sejumlah negera bagian di Amerika Serikat.
Gerakan anti-rasis ini pun meluas ke beberapa negara, termasuk di London dan Berlin.
Demonstrasi yang disertai kerusuhan dan penjarahan di Amerika Serikat pun menjadi sorotan dunia, termasuk Indonesia.
Presiden Ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono pun ikut menanggapi peristiwa yang terjadi di negeri Paman Sam itu.
Melansir Wartakotalive.com, Susilo Bambang Yudhoyono menuliskan kalimat sebagai berikut:
'Ada kobaran api di Amerika. Ada kerusuhan dan penjarahan di banyak kota.
Suasananya seperti 'perang'.
Puluhan ribu tentara yang ada di wilayah (national guard) sudah dikerahkan dan diterjunkan.
Ribuan pengunjuk rasa dan perusuh ditahan.
Banyak pula kota yang memberlakukan jam malam.
Dunia tercengang'.
Beragam pihak diungkapkan SBY mempertanyakan hal tersebut.
Pasalnya, Amerika yang diketahui merupakan negara adi daya itu bisa kembali terbelakang terhadap isu rasisme.
Sikap yang telah dihapuskan sejak Gerakan Hak-Hak Sipil Afrika-Amerika dikobarkan pada era tahun 1955 hingga tahun 1968 siam.
"Apa yang sesungguhnya terjadi? Mengapa Amerika jadi begitu? Inilah pertanyaan yang muncul di banyak negara," ungkap SBY dalam siaran tertulis pada Rabu (3/6/2020).
"Ternyata masyarakat internasional bukan hanya tercengang. Muncul pula protes-protes yang menunjukkan solidaritasnya dengan komunitas kulit hitam Amerika itu," tambahnya.
SBY memaparkan, aksi unjuk rasa tidak hanya sebatas negara bagian di Amerika Serikat, tetapi juga meluas hingga seluruh belahan dunia layaknya virus corona.
Tercatat, setidaknya kerusuhan diungkapkan SBY terjadi di 14 kota besar dunia, antara lain London, Paris, Berlin, Copenhagen, Milan, Dublin, Krakow, Perth, Sydney, Auckland, Christchurch, Vancouver, Toronto, dan Rio de Janeiro.
Mengetahui hal tersebut, SBY mengaku tidak terkejut.
Dirinya hanya merenung dan terbesitkan pertanyaan sederhana soal kondisi bangsa yang kian bergejolak bersamaan dengan pandemi covid-19.
"Saya tidak ikut-ikutan tercengang. Cuma merenung. Dan mau bertanya sedikit 'Are you OK, Amerika?'. Yang bertanya begini mungkin banyak. Di seluruh dunia. Bukan hanya saya," ungkap SBY.
Bukan Anti-Amerika
SBY menegaskan secara lugas dirinya bukanlah seseorang yang anti Amerika atau Anti Barat.
Sebab, sepanjang karir dirinya mengabdi sebagai seorang prajurit hingga terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia selama dua periode, SBY mengaku selalu bersinggungan dengan Amerika Serikat.
"Saya tidak termasuk orang yang anti Amerika atau anti Barat. Dalam pengabidan panjang saya sebagai prajurit TNI (sekitar 30 tahun), empat kali saya mengemban tugas pendidikan dan pelatihan di Amerika Serikat," ungkap SBY.
"Ketika menjadi Menteri dan Presiden, saya juga sering melakukan kunjungan ke negara Paman Sam itu," tambahnya.
Hal tersebut dibuktikannya ketika membangun kemitraan strategis (Strategic Partnership) di antara ke dua negara, Indonesia - Amerika Serikat.
Hubungan dan kerjasama yang saling menguntungkan dan saling hormat menghormati sejak lama katanya terjalin, baik pada masa pemerintahan Presiden Bush maupun Presiden Obama.
"Satu catatan, ketika hubungan Indonesia - Amerika terus berkembang dengan baik, kita juga menjalin hubungan (termasuk kemitraan strategis) dengan negara lain. Negara-negara itu sebagian adalah 'rival' Amerika," imbuhnya.
Oleh karena itu, menurutnya, sesuai amanah para pendiri republik, 'politik bebas aktif' ditegaskannya harus tetap menjadi haluan bangsa.
Politik yang diterapkannya semasa kepemimpinannya, periode 2014-2014.
Ketika itu bahkan dirinya menambahkan satu haluan politik negara, yakni 'all direction foreign policy'.
Artinya, menjalin hubungan baik ke segala penjuru dunia, apapun ideologi dan sistem politik yang dianut negara-negara tersebut.
Syaratnya, mereka menghormati kedaulatan Indonesia dan memiliki persamaan kepentingan dengan Indonesia.
"Sungguhpun saya tidak membenci dan anti Amerika, namun saya bukanlah tipe orang yang 'mendewakan' Amerika. Mengapa ini harus saya katakan?" tanya SBY.
"Banyak orang di dunia ini, saya kira di negeri kita juga ada, yang sangat mengagungkan Amerika Serikat. Seolah, negara itu selalu benar. Tidak pernah salah. Orang-orang itu juga menganggap Amerika bisa menjadi 'role model'," papar SBY.
"Menjadi panutan dan rujukan. Mungkin demokrasinya, HAM-nya, kebebasannya, pranata hukumnya, sistem politiknya, pemilunya, ekonomi pasarnya, ketokohan presidennya dan lain-lain," tambahnya.
Dalam waktu yang sangat lama, lanjutnya, Amerika Serikat juga dinilai sebagai negara yang segalanya 'paling hebat'.
Mulai dari ekonomi, militer serta dominasi politik luar negeri serta kemajuan teknologi.
Bahkan setelah berakhirnya Perang Dingin di akhir tahun 1980-an, Amerika Serikat diungkapkan SBY dianggap banyak pihak sebagai satu-satunya negara Adi Daya atau Super Power.
Melekat pula sebuah 'pengakuan' bahwa de facto Amerika adalah pemimpin dunia.
"Pertanyaannya sekarang adalah 'apakah Amerika masih seperti itu?' Inilah yang menarik untuk dijawab," ungkap SBY.
"Siapa yang bisa menjawab, di samping negara-negara lain, ya bangsa Amerika sendiri. Dengan catatan mereka harus jujur dan objektif," jelasnya.
Kejatuhan Bangsa Besar
Sebelum mengamati apa yang terjadi di Amerika saat ini, SBY mengulas sebuah buku berjudul 'The Rise and Fall of the Great Powers' yang ditulis oleh Paul Kennedy.
Buku yang menurutnya kini tidak lagi menjadi klasik dan mulai dilupakan.
Dirinya masih mengingat sebuah pesan mendalam yang tertulis dalam buku tersebut.
Pesan yang pernah didiskusikan ketika dirinya berpangkat letnan kolonel dengan sahabatnya almarhum Agus Wirahadikusumah.
"Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa Amerika tidak selalu berjaya. Atau bisa mengalami nasib yang sama dengan negara-negara yang pernah berjaya dan kemudian jatuh. Atau paling tidak menyusut pamornya," ungkap SBY.
"Ingat dulu ada Inggris dan negara-negara Eropa yang pernah berjaya pada jamannya. Menguasai dunia. Jepang pernah menjadi contoh negara yang sangat sukses. Kini Tiongkok tumbuh mengagumkan," jelasnya.
"Tapi, apakah Tiongkok akan menggantikan Amerika sebagai pemimpin dunia yang baru, tak ada yang tahu," tambah SBY.
Begitu juga dengan Amerika Serikat.
Kedigdayaan Amerika Serikat katanya akan meredup.
SBY pun menganalogikan kejatuhan negara adi kuasa laksana sebuah matahari yang terbit pada pagi hari, pasti akan tenggelam pada senja.
Baca: Achmad Yurianto Ajak Masyarakat Terapkan Protokol Corona Atas Kesadaran Sendiri Bukan Karena Diawasi
"Tentu, saat ini Amerika masih 'digdaya'. Tapi laksana matahari, ada masa terbit dan terbenamnya, kisah jaya dan jatuhnya sebuah negara akan selalu ada," ungkap SBY.
"Kembali ke soal Amerika, mungkin tak perlu terlalu jauh kita membicarakan nasib dan masa depannya. Sebab, menurut saya hanya Tuhan yang tahu. Kita lihat sajalah situasi Amerika saat ini. Minggu-minggu ini," jelasnya.
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul: Keamanan Amerika Serikat Bergejolak, Susilo Bambang Yudhoyono : Are You Ok Amerika?