TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu'ti, menceritakan bagaimana kepedulian sosok Presiden pertama RI Soekarno atau Bung Karno dengan kaum dhuafa.
Mu'ti menceritakan, kedekatan Bung Karno dengan kelompok Islam, termasuk dengan Muhammadiyah karena adanya kesamaan pandangan mengenai kesejahteraan masyarakat dan tujuan dalam membela orang-orang lemah.
"Saya kira Muhammadiyah dan PDIP ini dipertemukan dalam satu concern yang sama pembelaan kepada kaum duafa," kata Mu'ti, Selasa (9/6/2020).
Disampaikan Mu'ti saat menjadi narasumber di pembukaan webinar 'Pancasila dan Keadilan Sosial' dalam rangka peringatan Bulan Bung Karno, Selasa (9/6/2020).
Baca: Fadli Zon: Kalau Mau Dibilang, Indonesia sebagai Negara Demokrasi Abal-abal
"Atau bahasa PDIP (kaum dhuafa) adalah kaum marhaen. Dan kita dipertemukan oleh sosok yang sama yaitu Bung Karno," sambungnya.
Mu'ti mengatakan Bung Karno sebagai seorang kader yang sangat berkelanjutan dalam pemikiran-pemikiran ke- Islamannya dan seorang pejuang bangsa yang tidak pernah diragukan sebagaimana kecintaannya kepada tanah air Indonesia.
Menurut Mu'ti kedekatan itu rupanya mewarisi kepada anak-anak Bung Karno.
Megawati Soekarnoputri yang juga Presiden RI kelima, dianggap tidak hanya anak kandung biologis Soekarno, tapi mewarisi apa yang diturunkan Soekarno dalam bentuk ideologi.
Istri Bung Karno yang tak lain ibunda dari Megawati, Fatmawati, merupakan warga tulen Muhammadiyah.
"Sebenarnya ada banyak chemistry bisa menjadi titik masuk untuk PDIP bisa lebih bekerja sama dan bersinergi dengan Muhammadiyah," kata Mu'ti.
Mu'ti bercerita acara Haul Taufiq Kiemas juga menghadirkan Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah.
Di kesempatan yang sama, Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, menyatakan sejak awal ideologi bangsa ini digali sebagai ideologi keberpihakan.
Hasto menuturkan, tujuan utama Pancasila yakni keadilan sosial dalam bidang ekonomi yang dianggap belum terwujud sepenuhnya. Dan itu kemudian diturunkan agar adil secara politik, adil di bidang hukum, dan adil di bidang ekonomi.
"Praksis Pancasila dalam kehidupan berbangsa, instrumen terminalnya adalah keadilan itu. Suatu pijakan yang visioner, namun menyentuh hal yang paling hakiki setiap manusia terjajah yakni rasa keadilan," kata Hasto.