Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kuasa hukum terdakwa Syahrial Aliamsyah alias Abu Rara, Kamsi, meyakini kliennya tidak tergabung jaringan terorisme.
Menurut dia, upaya Syahrial melakukan penusukan terhadap mantan Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, karena inisiatif diri sendiri.
"Pada intinya terdakwa Syahrial tidak pernah melakukan permufakatan dengan temannya. Jadi tidak masuk jaringan teroris," kata Kamsi, di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Kamis (18/6/2020).
Baca: Abu Rara Pelaku Penusukan Wiranto Minta Maaf kepada Korban Lainnya
Atas dasar itu, dia menilai, tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menerapkan Pasal 15 juncto Pasal 16 juncto Pasal 16A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, tidak tepat.
Dia menegaskan perbuatan penusukan kepada Wiranto seharusnya masuk kategori Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penganiayaan.
"Masuk dalam 351 tentang Penganiayaan. Seharusnya jaksa menggunakan pasal 351 bukan Pasal Undang-Undang Terorisme," kata dia.
Baca: Pengakuan Warga Soal Sosok Abu Rara Pelaku Penusukan Wiranto
Dia menjelaskan perbuatan penusukan yang dilakukan Syahrial atas keinginan diri sendiri dan tidak terikat dengan jaringan atau kelompok manapun.
"Syahrial itu mandiri. Jadi tidak ada unsur kesengajaan. Tetapi kebetulan ada pejabat di situ, karena dendam akhirnya Syahrial langsung menusuk pak Wiranto," tambahnya.
Untuk diketahui, pada Kamis ini, majelis hakim PN Jakarta Barat menggelar sidang pembacaan pembelaan oleh terdakwa atau pledoi.
Baca: Pembelaan Penusuk Wiranto: Saya Tidak Terbukti Melakukan Tindak Pidana Terorisme
Masing-masing terdakwa, yaitu Terdakwa Syahrial Alamsyah alias Abu Rara dituntut pidana penjara selama 16 tahun.
Terdakwa Fitri Diana alias Fitri Adriana dituntut pidana penjara selama 12 tahun. Dan, Terdakwa Samsudin alias Abu Basilah dituntut pidana penjara selama 7 tahun.
Para terdakwa membacakan nota pembelaan terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atau pledoi.
Sidang pembacaan pledoi digelar via video conference, pada Kamis ini.
Hal ini, karena terdakwa berada di rumah tahanan. Abu Rara memakai baju tahanan oranye duduk di sebuah ruangan di rumah tahanan khusus terorisme di Cikeas, Bogor.
Sedangkan, Fitri berada di rumah tahanan Polda Metro Jaya. Adapun, tim penasihat hukum terdakwa, tim Jaksa Penuntut Umum, dan majelis hakim berada di ruang sidang PN Jakarta Barat.
Dalam pledoinya, Abu Rara keberatan terhadap tuntutan jaksa yang menjerat Pasal 15 juncto Pasal 16 juncto Pasal 16A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Saya sama sekali tidak terbukti melakukan pemufakaatan jahat. Sehingga saya tidak terbukti melakukan tindak pidana terorisme," ujar Abu Rara.
Untuk diketahui, upaya penusukan itu berawal dari pasangan suami-istri Syahrial Alamsyah alias Abu Rara dan Fitri Diana alias Fitri Adriana mengetahui mantan Menkopolhukam Wiranto akan berkunjung ke wilayah Menes, Pandeglang, Banten, pada Kamis 10 Oktober 2019.
Setelah mengetahui akan ada kunjungan Menkopolhukam Wiranto, terdakwa Syahrial menyampaikan kepada Fitria tentang rencana untuk melakukan penyerangan terhadap Wiranto. Syahrial mengajak Fitria dan seorang anaknya.
Untuk menyerang mantan Panglima ABRI itu, Syahrial memberikan dua bilah pisau kepada istrinya dan anaknya. Kemudian mereka berangkat untuk menyerang Wiranto di Alun-alun Menes.
Pada saat Wiranto bersalaman dengan Kapolsek Menes Kompol Dariyanto, terdakwa melakukan penyerangan dengan menggunakan pisau kunai. Aksi itu kemudian diikuti istrinya. Sedangkan, anaknya melarikan diri ketika mengetahui orang tuanya ditangkap.
Akibat serangan itu, Wiranto mengalami luka terbuka di perut sebelah kiri dan luka di lengan kiri akibat senjata tajam. Sementara, Kompol Dariyanto menderita luka terbuka di bahu kiri dan siku tangan kiri, kemudian korban H. A Fuad Syauqi mengalami luka tusuk di dada kanan dan kiri.
Atas perbuatan itu, JPU menilai, terdakwa telah melakukan permufakatan jahat, persiapan, percobaan atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme, dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan melibatkan anak.