*Tak Yakin Rahmat Kadir dan Ronny Bugis Pelaku Penyiraman
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Novel Baswedan meminta dua terdakwa penyiraman air keras kepada dirinya, yakni Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis dibebaskan.
Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu tidak yakin dua terdakwa yang merupakan anggota Brimob Polri itu sebagai pelaku sebenarnya.
”Saya sebagai orang hukum, yang memahami proses persidangan, maka saya katakan
orang-orang seperti itu mesti dibebaskan. Jangan memaksakan sesuatu yang kemudian itu tidak benar,” kata Novel saat dikonfirmasi, Rabu (17/6/2020).
”Dibebaskan saja (dari segala tuntutan jaksa) daripada (terus) mengada-ada,” ujar Novel.
Pernyataan pesimis yang dilontarkan Novel itu merujuk pada banyaknya kejanggalan
yang dipertontonkan selama persidangan.
Menurut Novel, tidak ada bukti menguatkan yang mampu ditunjukkan penyidik dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkait korelasi terdakwa dengan peristiwa penyiraman air keras.
Novel lantas membeberkan beberapa kejanggalan yang dilihatnya di persidangan. Di
antaranya adalah pengakuan dalil air aki terdakwa oleh penuntut umum, barang bukti
dan saksi penting yang tidak dihadirkan, serta motif serangan sebatas dendam pribadi.
Selain itu, Novel mengatakan bukti pelengkap seperti salinan investigasi Komnas HAM
yang menyatakan serangan terhadapnya berkaitan erat dengan kerja-kerja
pemberantasan tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti oleh jaksa dalam persidangan.
Baca: Bukti-bukti Persidangan Tak Jelas Berujung Tuntutan Terdakwa 1 Tahun, Novel: Lebih Baik Dilepas Saja
Baca: Komisi Kejaksaan Beri Tanggapan Terkait Kasus Novel Baswedan: Tuntutan Bisa Melihat Aspek Keadilan
Baca: Novel Baswedan Ragu Sejak Awal Persidangan, Pertanyakan Peran Jaksa yang Tak Berpihak pada Korban
”Dan ternyata apa yang saya sampaikan di persidangan itu, berpikir positif, terus berpikir positif walaupun sebetulnya ragu juga, ternyata di persidangan aneh.
Saya baru tahu ternyata saksi-saksi kunci tidak masuk dalam berkas perkara, bukti penting tidak dibicarakan di persidangan, bahkan ada bukti yang berubah,” kata dia.
Di mata Novel, persidangan yang berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara itu sudah
keterlaluan.
”Saya sudah pernah bertanya pada penyidik, apa yang bisa menjelaskan
bahwa kedua terdakwa itu pelakunya, mana buktinya, saya enggak dapat penjelasan.
Ketika penuntutan, saya tanya jaksanya apa yang membuat yakin dia adalah
pelakunya? Mereka enggak bisa jelaskan," ujarnya.
Novel lantas menyinggung tuntutan ringan jaksa terhadap kedua terdakwa yang hanya
satu tahun pidana penjara.
Menurutnya, tuntutan tersebut melukai rasa keadilan baik bagi dirinya sebagai korban maupun masyarakat yang berharap penuh atas penegakan hukum.
"Dengan bukti-bukti tadi yang saya katakan, arah fakta-fakta yang itu tidak
diungkap dengan benar, saya melihat jangan-jangan penuntut ini yakin dia bukan
pelakunya," ujarnya.
Dalam perkara ini, dua polisi penyiram air keras terhadap Novel, Rahmat Kadir
Mahulette dan Ronny Bugis dituntut satu tahun pidana penjara.
Para terdakwa dinilai terbukti menurut hukum secara sah dan meyakinkan bersama-sama melakukan penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, sehingga menyebabkan Novel mengalami luka berat.
Perbuatan itu dilakukan karena terdakwa menganggap Novel telah mengkhianati institusi Polri. Mereka terbukti melanggar Pasal 353 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman pidana paling lama tujuh tahun penjara.
Sedangkan berdasarkan fakta persidangan, jaksa memandang perbuatan kedua
terdakwa tidak terbukti melanggar Pasal 355 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP sebagaimana surat dakwaan. Beleid ini mengatur ancaman pidana penjara paling lama 12 tahun.
Jaksa beralasan gugurnya Pasal 355 sebagaimana dakwaan karena kedua terdakwa tidak sengaja dan tidak ada niat melukai Novel dengan air keras.
"Dalam fakta persidangan yang bersangkutan hanya ingin memberikan pelajaran
kepada seseorang yaitu Novel Baswedan dikarenakan alasannya karena lupa dengan
institusi; menjelekkan institusi," ujar Jaksa.
Terkait tuntutan yang diajukan jaksa, Novel mengaku tak terlalu tertarik membahasnya.
Ia lebih fokus pada proses persidangan yang tengah berlangsung.
”Saya lebih tertarik membahas proses, bukan hasil. Kalau bicara hasil, nanti karena banyak diprotes sudah dihukum berat saja, kalau itu terjadi rusaklah hukum itu," kata Novel dalam diskusi daring yang digelar oleh PUKAT UGM pada Rabu (17/6).
Meski begitu, Novel mengatakan dalam proses persidangan sudah tergambar jelas
sejumlah permasalahan yang ada.
"Kalau melihat itu, rangkaian tadi yang saya katakan sebelumnya menggambarkan proses sudah sedemikian bermasalah sudah hanya memotong-motong dan memenggal-menggal bagian yang ingin disoroti saja dan bahkan dalam beberapa hal cenderung mengolok-olok saya. Karena mengatakan saya hanya luka ringan.
Bahkan advokat terdakwa mengatakan bahwa serangan ini hal biasa,
menyiram air ke muka saya itu hal biasa," sambung dia.
Novel berharap putusan nanti bukan hanya sekadar memperlihatkan dua terdakwa
dihukum berat atau tidak.
Paling penting, kata Novel, adalah proses objektif dalam persidangan. Ia mengatakan, apabila dua terdakwa bukan penyerangnya sudah seharusnya dibebaskan.
"Secara harapan, saya melihat sepertinya bukan sekadar hanya ingin hukum orang berat tapi yang penting proses objektif.
Kalau dia pelakunya, layak dapat hukuman berat. Kalau bukan pelakunya haruslah dibebaskan, bukan sekadar memenuhi hawa nafsu untuk hukum orang, membalas, bukan itu tujuan penegakan hukum," sambung dia.
Meski demikian, Novel menyebut apabila ada bentuk kesewenang-wenangan dalam
proses penegakan hukum harus dilawan dan tak boleh diam.
Termasuk dalam proses persidangan perkaranya yang memunculkan kejanggalan. Ia pun mengapresiasi dukungan publik terhadapnya.
"Respons publik yang baik saya berharap semakin ditingkatkan karena tidak boleh diam tidak boleh kita memilih tak berbicara memaklumi dan biarkan hal itu. Karena ini sangat penting," ujarnya.(tribun network/ilh/dod)