Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) menanggapi dinamika yang berkembang terkait RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP).
Hal itu disampaikan Anggota DPR dari fraksi PDIP Aria Bima dalam rapat paripurna DPR RI, Kamis (18/6/2020).
Aria Bima menegaskan, dari berbagai respons masyarakat, RUU HIP adalah RUU yang telah disepakati menjadi RUU inisiatif DPR melalui rapat paripurna.
Ia menyayangkan adanya sikap yang ditunjukkan fraksi lain yang seolah-olah lepas tangan saat RUU ini menjadi perbincangan publik.
Baca: Ombdusman RI Nilai Pengunggah Humor Polisi Jujur Diperlakukan Mengarah ke Arah Intimidasi
"Dari proses di Baleg pandangan dari masing-masing poksinya sudah memberikan pandangan-pandangan menyetujui dibawa ke rapat paripurna."
"Di rapat paripurna, saya ikut hadir di sini juga tidak ada yang memberikan catatan-catatan tapi seolah-olah kemudian di publik lepas tangan begitu saja dengan menyalahkan beberapa orang atau beberapa partai saja. Ini yang saya sangat sayangkan. Jangan begitu kalau itu sudah inisiatif DPR," kata Aria Bima.
Aria Bima mengatakan proses pembahasan RUU HIP telah melalui mekanisme pengambilan keputusan yang ada di DPR.
Baca: UPDATE Corona Indonesia Kamis, 18 Juni 2020: 10 Provinsi Ini Tak Ada Penambahan Kasus Positif
Jika nantinya RUU itu ditunda, fraksi PDIP meminta proses penundaan dikembalikan kepada mekanisme jalannya persidangan.
"Kalau toh akan kita anulir, kita bahas kembali, saya mohon pada pimpinan untuk dikembalikan kepada proses jalannya persidangan. Bagaimana undang-undang perlu dimatangkan kembali perlu dicermati lagi atau dibahas dengan mengundang semua yang keberatan dalam RDP oleh panja atau pansus yang akan dibentuk," ucapnya.
Baca: Kesadaran Pemain Indonesia Tentang Perannya Fisioterapi Jauh Meningkat Dibandingkan Lima Tahun Silam
Lebih lanjut, ia menilai RUU HIP tersebut penting untuk menguatkan posisi Pancasila dalam menjawab tantangan di era globalisasi dan industri saat ini.
Terkait adanya pasal yang justru dianggap bertentangan dengan Pancasila, menurutnya hal itu bisa dimusyawarahkan sama halnya ketika proses penyusunan Pancasila itu sendiri.
"Jadi kita tidak terlalu paniklah baik NU, Muhammadiyah, kalangan nasionalis, budayawan, rohaniawan sudah biasa dengan dinamika untuk bagaimana bangsa bisa tegak 100 tahun lagi," katanya.
Kata Pakar Hukum Tata Negara
Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis mengkritik DPR yang mengusulkan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP).
Margarito Kamis menilai adanya RUU HIP adalah cara untuk mereduksi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Jangan-jangan ini cara mereduksi Pancasila, sekali lagi ini kan diletakkan dengan undang-undang yang menjadi objek mulia," kata Margarito Kamis dalam webinar bertema 'RUU HIP, Dalam Perspektif UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945', Rabu (17/6/2020).
Margarito Kamis beralasan RUU HIP ini membuka ruang hidupnya ideologi lain karena tidak dimasukannya TAP MPRS XXV/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara, dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.
Baca: PLN Mengklaim Sudah mengganti 7,7 Juta Meter Listrik Kadaluwarsa Pelanggan
Menurutnya, TAP MPRS XXV/1966 merupakan hal fundamental sebagai pijakan dari RUU HIP ini.
"Jadi jangan-jangan RUU HIP ini adalah cara menyediakan pintu masuk kecil untuk mereduksi Pancasila," ujarnya.
Namun, ia juga menyoroti dominasi perbincangan TAP pelarangan PKI dan ajaran Komunisme itu.
Menurutnya, hal itu menenggelamkan semua kalangan ke dalam, seolah-olah TAP itu adalah satu-satunya TAP, yang relevan untuk diperbicangkan. Ketetapan
Padahal, kata Margarito, ada ketetapan lain yang berhubungan dengan RUU HIP, namun banyak dilupakan orang.
Baca: Sepulang Shalat Suami Temukan Jasad Istri Pakai Mukena di Dapur, Ternyata Dipukul Anak Pakai Cangkul
Yaitu TAP MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966 Tentang Pembentukan Panitia Peneliti Ajaran-Ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.
Ketetapan ini ditetapkan pada tanggal 5 Juli 1966. Tanggal yang sama dengan ketetapan MPR Nomor XXV itu.
Hasil kerja Panitia, menurut pasal 3 TAP ini harus menyampaikan laporannya ke Badan Pekerja MPRS untuk mendapatkan persetujuan, sambil menunggu pengesahan oleh MPRS atau MPR hasil pemilihan umum yang akan datang
Namun, Margarito tidak mendapat informasi apakah ada laporan kepada MPR yang bersidang pada tahun 1973.
Baca: Berkas Kasus Narkoba Roy Kiyoshi Sudah Dilimpahkan Polisi ke Kejaksaan Pekan Lalu
"Apakah benar-benar dilakukan penelitian, dilaporkan ke BP MPRS, juga tidak jelas. Tidak dapat berspekulasi, tetapi kenyataan terferifikasi menunjukan pada Sidang Umum MPR tahun 1973, juga tak dikeluarkan ketetapan tentang pengesahan laporan itu," ucapnya.
Atas kenyataan itu, Margarito berpendapat ada dua masalah.
Pertama, apa dan bagaimana ajaran Bung Karno. Mana yang dinyatakan dikoreksi atau yang tidak dikoreksi.
Sebagai konsekuensi tidak ada laporan itu, maka tidak seorang pun yang dapat secara otoritatif menyatakan ajaran Bung Karno bagian ini atau itu sebagai ajaran, setidak-tidaknya tidak bisa dikembangkan.
Kedua, kata Maragarito, tidak adanya ajaran Bung Karno Pimpinan Besar Revolusi yang dikoreksi secara hukum, dan dinyatakan secara hukum.
Misalnya, tidak bisa dikembangkan, maka konsekuensi hukumnya tidak ada ajaran Bung Karno yang terlarang untuk dikembangkan. Konsekuensi ini menghasilkan kabut hitam tebal untuk dua hal.
"Bagaimana memastikan secara spesifik ajaran bung Karno? Bagaimana memastikan secara spesifik cara mengembangkannya? Ini adalah dua kabut tebalnya. Pada titik ini, beralasan untuk menempatkan RUU HIP sebagai cara mengembangkan ajaran Bung Karno. Cara yang kehebatannya terlegitimasi secara rapuh dengan hukum," katanya.