TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kritikan mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan bahwa pelaksanan Pilkada Serentak 2020 di masa pandemi telah menabrak tiga asas pemilu dinilai subjektif.
Pelaksanan Pilkada di tengah pandemi, bisa dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat.
Korea Selatan, adalah negara yang berhasil menggelar pemilihan di tengah pandemi. Jika mencontoh Korea, Indonesia pun bisa.
Demikian diungkapkan Muhammad Rullyandi, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Pancasila, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (29/6/2020).
Menurut, Rullyandi, pandangan Djohermansyah yang juga Guru Besar IPDN dinilai absurd dan lebih berdasarkan subyektifitas pribadi.
Baca: Ombudsman: Laporkan Jika Ada Diskriminasi di Pilkada 2020
Bencana wabah pandemi non alam seperti Covid-19 dapat diantisipasi dengan protokol kesehatan yang ketat.
Tentunya, protokol kesehatan itu harus tersosialisasi dengan baik serta terimplementasi dengan baik pula..
“Saya pikir pendapat itu, sah-sah saja, tetapi bersifat subyektif. Perlu dipahami, keputusan persetujuan bersama Pemerintah, DPR, dan KPU untuk menyelenggarakan pilkada 9 desember 2020 secara menyeluruh adalah langkah yang konstitusional dan proporsional dengan mempertimbangan keamanan protokol kesehatan Covid-19 19," ungkapnya
Rullyandi berpendapat, bahwa Profesor Johansyah memang pernah menjadi Dirjen Otda.
Baca: Cegah Klaster Baru Covid-19, Petugas Pilkada di Lapangan Wajib diberikan Perlindungan
Tapi dalam masa keadaan normal. Sehingga tidak memiliki pengalaman yang cukup menghadapi kondisi saat ini menyelenggarakan pilkada serentak 270 daerah di tahun 2020 ini.
Pelaksanaan pilkada serentak dengan protokol kesehatan itu sendiri, untuk menyelematkan keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
"Situasi yang tidak normal saat ini dan ditengah ketidakpastian kapan berakhirnya pandemi Covid- 19 membuat pemerintah, DPR dan KPU memutuskan menyelamatkan keberlangsungan demokrasi dengan komitmen yang tinggi," katanya.
Terkait kritikan Djohermansyah, Rullyandi berpendapat, perlu diuji rasio konstitusionalitasnya.
Baca: Mardani Yakini Penurunan Presidential-Pilkada Threshold Akan Buat Banyak Orang Baik Masuk Politik
Keseluruhan pandangan mantan Dirjen Otda itu harus dihubungkan dengan gagasan negara hukum yang demokratis.
Jika pilkada itu gagal, justru berpotensi melahirkan suatu problem konstitusional yang berdampak luas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
"Problem konstitusional tersebut, disebabkan karena tidak sejalannya dengan kaedah prinsip negara hukum yang memenuhi aspek jaminan perlindungan kepastian hukum yang adil dengan pemenuhan hak konstitusional memilih dan dipilih sebagai amanah konstitusi untuk menghindari potensi ketidakpastian kekosongan jabatan yang berkepanjangan," tuturnya.
Menurutnya, keputusan melanjutkan tahapan pilkada serentak sudah sesuai dengan pedoman garis besar rambu - rambu konstitusional yang telah memberikan amanah bagi penyelenggaraan negara termasuk didalamnya proses pengisian jabatan kepala daerah dalam rezim demokrasi lokal.
Pelaksanan pilkada di tengah pandemi telah mempertimbangkan berbagai alasan subjektif dan alasan objektif.
"Pilkada di saat pandemi ini sebagai ukuran keseriusan pemerintah dan kesiapan penyelenggara pemilu, baik itu KPU dan Bawaslu menegakan prinsip - prinsip nilai demokrasi meskipun situasi saat ini negara kita belum pernah terjadi keadaan pandemi sejak tahun 1945 Indonesia merdeka," katanya.
Karena, kata dia, jika pandemi itu kemudian menghambat keberlangsungan demokrasi di Indonesia, ini justru akan jadi problem.
Ada dinamika ketatanegaraan yang harus dijamin untuk menghindari potensi ancaman ketidakpastian hukum akibat kokosongan jabatan kepala daerah yang definitif.
Justru, dengan pilkada ini, daerah setidaknya akan punya kepala daerah yang punya kewenangan penuh. Dan, ini sangat berguna dalam penanggulangan Covid-19 di daerah.
Karena bagaimanapun penanggulangan dan penanganan Covid-19 ini membutuhkan kepemimpinan yang kuat. Kepemimpinan dengan kewenangan penuh.
"Dengan kondisi ketidakpastian berakhirnya wabah Covid-19 dan untuk menghadapi berakhirnya masa jabatan kepala daerah di 270 daerah, suatu negara berdaulat yang demokratis tak akan membiarkan penyelenggaraan pemerintahan terhambat," ujarnya.
"Maka menyelenggarakan proses pemilihan lanjutan adalah demi keberlangsungan pemerintahan daerah yang efektif, efisien dan power full yang mana ini diperlukan saat mengambil keputusan strategis. Termasuk keputusan dalam penanggulangan Covid-19," Rullyandi menambahkan.