Hal itu di antaranya karena, berkaca dari sejarah pasca reformasi, Basarah melihat ada rentang waktu selama kurang lebih 20 tahun ketika negara tidak menjalankan tanggung jawabnya dalam membina mental ideologi bangsa tersebut.
Basarah menilai kondisi tersebut di antaranya disebabkan adanya kekeliruan pandangan yang menilai kewajiban pembinaan mental ideologi Pancasila merupakan milik rezim tertentu.
Sehingga, menurutnya, bersamaan dengan jatuhnya rezim Orde Baru, maka dihapuskan juga instrumen-instrumen negara untuk menjalankan kewajiban membina mental dan ideologi Pancasila yang dinilai sebagai produk rezim tersebut.
Ia menjelaskan kondisi tersebut dimulai sejak dicabutnya Pedoman Penghayatan dan Pengamalam Pancasila (P4) pada 1998 melalui Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 hingga dibentuknya kembali Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) pada 2017 lalu yang sejak 2018 berubah menjadi BPIP.
Kondisi tersebut berlanjut ketika lembaga yang bertugas membina mental ideologi bangsa pada saat itu yakni Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau BP7 dibubarkan dan dihapusnya Pancasila sebagai mata pelajaran wajib.
"Sehingga masuklah ideologi-ideologi transnasional ke Indonesia. Baik liberalisme, kapitalisme, maupun dari ekstrimisme agama. Kalau kita melihat survei, soal intoleransi, anti kebhinnekaan, terorisme, gaya hidup bebas, narkoba, hedonisme, seks bebas dan sebagainya dikampanyekan begitu masif," kata Basarah.
Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan PPP tidak ingin terburu-buru memgambil sikap terkait usulan RUU PIP tersebut.
Ia mengatakan pertama PPP akan melihat dulu substansi dan materi yang ditawarkan dalam RUU PIP tersebut.
Selain itu PPP juga menghendaki agar ruang dialog terkait RUU PIP yang diusulkan sebagai jalan keluar dari polemik RUU HIP yang muncul belakangan ini dibuka seluas-luasnya baik oleh pemerintah, DPR, maupun masyarakat sehingga tidak menimbulkan keterbelahan di tengah masyarakat.
"PPP yang penting melihat sebuah RUU, apalagi RUU yang sepenting katakanlah yang baru dilontarkan, PIP atau Pembinaan Ideologi Pancasila, itu akan melihat pertama pada substansi dan materi dan kedua menginginkan agar ruang dialog, ruang konsultasi publiknya itu harus dibuka selebar-lebarnya, seluas-luasnya," kata Arsul.
Arsul yang mengaku baru membaca usulan terkait RUU PIP tersebut dari media massa menekankan agar muatan dari RUU tersebut nantinya hanya sebatas memberikan legal standing atau penguatan di bidang landasan hukum bagi BPIP.
Menurutnya tentunya RUU tersebut juga memuat terkait tugas pokok dan fungsi BPIP agar tugas-tugas pembinaan ideologi yang dilakukan BPIP menjadi jelas termasuk cakupan dan dasar penganggaran lembaga tersebut.
"Tapi tidak boleh di dalam RUU itu, apapun namanya, itu ada isi pasal-pasal yang hakikatnya merupakan tafsir atau pemahaman atas Pancasila. Karena kalau ada yang seperti itu akan menimbulkan polemik baru, keterbelahan baru di tengah masyarakat kita," kata Arsul.
Ia meyakini jika hal tersebut dijelaskan dengan bijak kepada masyarakat maka tidak akan muncul masalah.
Baca: Kowani Minta KPAI Tindak Tegas Panitia Karena Libatkan Anak saat Demo Tolak RUU HIP
Karena menurutnya hampir semua lembaga pemerintah apalagi yang langsung di bawah Presiden memang diatur dengan Undang-Undang.