News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Urgensi Undang-Undang Pembinaan Ideologi Pancasila

Penulis: Gita Irawan
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wakil Ketua MPR fraksi PDI Perjuangan Ahmad Basarah.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila ( RUU HIP) yang belakangan menuai kontroversi di tengah masyarakat dinilai belum mampu memenuhi kebutuhan bangsa Indonesia atas payung hukum berupa Undang-Undang bagi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Ahmad Basarah menilai saat ini badan yang dibentuk oleh Presiden Joko Widodo pada 2018 lalu itu membutuhkan payung hukum berupa Undang-Undang.

Baca: Politikus PKB Nilai Perubahan Nama RUU HIP Tak Selesaikan Masalah

Menurut Basarah, hal itu dibutuhkan agar ke depannya kewajiban negara dalam pembinaan mental dan ideologi bangsa tidak tergantung pada selera politik presiden tertentu.

"Kita tidak ingin tugas membina mental ideologi bangsa yang begitu penting ini itu tergantung oleh selera politik seorang presiden. Harusnya pembinaan ideologi Pancasila ini bersifat permanen. Itulah yang menjadi dasar munculnya gagasan memberi payung hukum Pembinaan Ideologi Pancasila," kata Basarah di Menara Kompas Jakarta pada Senin (29/6/2020).

Menurutnya, Rancangan Undang-Undang (RUU) PIP berbeda secara substansi dan materi hukum dengan RUU HIP.

Menurutnya, RUU PIP nantinya hanya memuat pasal-pasal yang lebih bersifat teknis karena hanya mengatur di antara lain tugas, wewenang, fungsi, dan struktur kelembagaan BPIP.

Ia mengatakan dalam RUU tersebut nantinya seluruh pasal yang kontroversial di dalam RUU HIP juga didrop dan digantikan dengan pasal-pasal yang sifatnya teknis terkait BPIP tersebut.

Sedangkan menurutnya RUU HIP saat ini memuat pasal-pasal yang sifatnya ideogis politis, yang juga menjadi penyebab kontroversi bagi masyarakat.

Antara lain tafsiran sejarah pembentukan, filosofi, tata cara, strategi, dan menginternalisasikan Pancasila dalam kehidupan masyarakat.

"Dengan kata lain sebenarnya yang dibutuhkan bangsa Indonesia saat ini adalah sebuah payung hukum Undang-Undang yang bersifat teknis mengatur tugas wewenang, fungsi, dan struktur Badan Pembinaan Ideologi Pancasila," kata Basarah.

Terkait hal tersebut Basarah menilai saat ini penting bagi pemerintah untuk mendengarkan pendapat, usulan, dan saran-saran dari berbagai macam pemangku kepentingan di negara ini mulai dari ormas keagamaan seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, MUI, PGI, KWI, Purnawirawan TNI-Polri, dan lain sebagainya sebelum nantinya mengirimkan surat presiden dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) kepada DPR terkait RUU HIP.

Ia menilai di saat tersebut pemerintah bisa menyampaikan pentingnya payung hukum berupa Undang-Undang bagi BPIP.

"Kami sangat menghormati, mengapresiasi sikap pemerintah menunda pembahasan RUU HIP itu bersama DPR dengan belum mengirimkan Surpres sampai dengan saat ini. Saya kira waktu penundaan ini adalah waktu yang baik, baik bagi DPR maupun Pemerintah untuk menjelaskan kembali kepada publik tentang apa sebenarnya yang pada awal dibentuknya rancangan Undang-Undang ini diperlukan kepada masyarakat, yaitu Rancangan Undang-Undang tentang Pembinaan Ideologi Pancasila," kata Basarah.

Hal itu di antaranya karena, berkaca dari sejarah pasca reformasi, Basarah melihat ada rentang waktu selama kurang lebih 20 tahun ketika negara tidak menjalankan tanggung jawabnya dalam membina mental ideologi bangsa tersebut.

Basarah menilai kondisi tersebut di antaranya disebabkan adanya kekeliruan pandangan yang menilai kewajiban pembinaan mental ideologi Pancasila merupakan milik rezim tertentu.

Sehingga, menurutnya, bersamaan dengan jatuhnya rezim Orde Baru, maka dihapuskan juga instrumen-instrumen negara untuk menjalankan kewajiban membina mental dan ideologi Pancasila yang dinilai sebagai produk rezim tersebut.

Ia menjelaskan kondisi tersebut dimulai sejak dicabutnya Pedoman Penghayatan dan Pengamalam Pancasila (P4) pada 1998 melalui Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 hingga dibentuknya kembali Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) pada 2017 lalu yang sejak 2018 berubah menjadi BPIP.

Kondisi tersebut berlanjut ketika lembaga yang bertugas membina mental ideologi bangsa pada saat itu yakni Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau BP7 dibubarkan dan dihapusnya Pancasila sebagai mata pelajaran wajib.

"Sehingga masuklah ideologi-ideologi transnasional ke Indonesia. Baik liberalisme, kapitalisme, maupun dari ekstrimisme agama. Kalau kita melihat survei, soal intoleransi, anti kebhinnekaan, terorisme, gaya hidup bebas, narkoba, hedonisme, seks bebas dan sebagainya dikampanyekan begitu masif," kata Basarah.

Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan PPP tidak ingin terburu-buru memgambil sikap terkait usulan RUU PIP tersebut.
Ia mengatakan pertama PPP akan melihat dulu substansi dan materi yang ditawarkan dalam RUU PIP tersebut.

Selain itu PPP juga menghendaki agar ruang dialog terkait RUU PIP yang diusulkan sebagai jalan keluar dari polemik RUU HIP yang muncul belakangan ini dibuka seluas-luasnya baik oleh pemerintah, DPR, maupun masyarakat sehingga tidak menimbulkan keterbelahan di tengah masyarakat.

"PPP yang penting melihat sebuah RUU, apalagi RUU yang sepenting katakanlah yang baru dilontarkan, PIP atau Pembinaan Ideologi Pancasila, itu akan melihat pertama pada substansi dan materi dan kedua menginginkan agar ruang dialog, ruang konsultasi publiknya itu harus dibuka selebar-lebarnya, seluas-luasnya," kata Arsul.

Arsul yang mengaku baru membaca usulan terkait RUU PIP tersebut dari media massa menekankan agar muatan dari RUU tersebut nantinya hanya sebatas memberikan legal standing atau penguatan di bidang landasan hukum bagi BPIP.

Menurutnya tentunya RUU tersebut juga memuat terkait tugas pokok dan fungsi BPIP agar tugas-tugas pembinaan ideologi yang dilakukan BPIP menjadi jelas termasuk cakupan dan dasar penganggaran lembaga tersebut.

"Tapi tidak boleh di dalam RUU itu, apapun namanya, itu ada isi pasal-pasal yang hakikatnya merupakan tafsir atau pemahaman atas Pancasila. Karena kalau ada yang seperti itu akan menimbulkan polemik baru, keterbelahan baru di tengah masyarakat kita," kata Arsul.

Ia meyakini jika hal tersebut dijelaskan dengan bijak kepada masyarakat maka tidak akan muncul masalah.

Baca: Kowani Minta KPAI Tindak Tegas Panitia Karena Libatkan Anak saat Demo Tolak RUU HIP

Karena menurutnya hampir semua lembaga pemerintah apalagi yang langsung di bawah Presiden memang diatur dengan Undang-Undang.

"Kita bicara misalnya Badan Nasiobal Penanggulang Terorisme, ada Undang-Undangnya, tadinya hanya Keppres. Ketika kami di periode lalu di DPR itu membahas RUU terorisme kita masukan penguatan kelembagaannya melalui pengaturan di Undang-Undang. BNN, Badan Narkotika Nasional itu, ada juga pengaturannya di Undang-Undang Narkotika. Ada LPSK, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban itu diatur juga di dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Komnas HAM juga begitu, di Undang-Undang tentang HAM," ungkap Arsul.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini