TRIBUNNEWS.COM - Pembahasan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), kini kembali mencuat ke publik.
Hal itu buntut ditariknya RUU PKS dari program legislasi nasional (Prolegnas) RUU Prioritas 2020.
Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang bahkan menyebut alasannya karena pembahasannya sulit.
Staf Divisi Perubahan Hukum LBH APIK Jakarta, Dian Novita, turut menanggapi hal tersebut.
Dinov, sapaanya, mengaku kecewa lantaran RUU PKS ikut menjadi RUU yang ditarik dari Prolegnas 2020.
Baca: RUU PKS Ditarik dari Prolegnas, Nasdem Tak Setuju: Korban Kekerasan Seksual Harus Dapat Perlindungan
Tak tinggal diam, Dinov turut serta mengonfirmasi kebenaran mengenai hal tersebut.
Rupanya, beberapa anggota legislatif yang bersama-sama memperjuangkan RUU PKS membenarkannya.
"Memang katanya ada usulan RUU PKS diserahkan ke Baleg, tapi kalau saya mengikuti rapat Baleg tadi siang (Kamis, 2 Juli 2020)."
"Komisi VIII mengusulkan RUU PKS dikeluarkan dari Prolegnas dan akan dibahas kembali di 2021," ungkap Dinov kepada Tribunnews, melalui Zoom Meeting, Kamis (2/7/2020) malam.
Baca: RUU PKS Ditarik karena Sulit, Sujiwo Tejo: Bagaimana Kalau Siswa Kembalikan Soal Ujian karena Sulit?
Meski ada rasa kecewa, Dinov akan terus memantau perkembangan draf RUU PKS di 2021.
"Memang ada rasa kekecewaan, kita menyayangkan kenapa RUU PKS yang harus dikorbankan."
"Tapi daripada berlarut, kita pantau lagi 2021 harus masuk daftar Prolegnas 2021 dan memastikan segera ada drafnya," tambah Dinov.
Lebih lanjut, dia juga membeberkan sederet alasan mengapa RUU PKS harus benar-benar disahkan.
Terlebih, angka kasus kekerasan seksual di Indonesia semakin bertambah setiap tahunnya.
Baca: RUU PKS Ditarik dengan Alasan Sulit Dibahas, Ernest Prakasa: Kalau Mau Gampang Jangan jadi DPR, Pak!
Namun, hingga kini belum ada payung hukum untuk memberi keadilan bagi korban kekerasan seksual.
Padahal sudah tiga tahun proses RUU PKS ini berjalan, tetapi substansi dari RUU tersebut masih belum dibahas.
Sebab, selalu ada berbagai alasan dari pihak penolak yang menghambat prosesnya.
"Alasan-alasan mereka tidak masuk akal, tidak sesuai dengan inti RUU PKS."
"Padahal intinya ini memberikan keadilan bagi korban yang selama ini sulit didapatkan," ungkap Dinov.
Contohnya, yang sempat menjadi kontroversional pada akhir 2019 lalu, RUU PKS diangap melegalkan seks bebas.
Baca: Komisi VIII Ingin RUU PKS Hanya Atur Pencegahan Kekerasan Seksual dan Rehabilitasi Korban
Selain itu, pihak penentang juga menganggap draf RUU PKS mengadopsi dari ideologi budaya barat.
"Jadi RUU ini ada bukan dari barat, bukan dari kita mengadopsi dari luar negeri."
"Tapi RUU ini ada justru kita melihat situasi korban yang ada di Indonesia," tegas Dinov.
Berdasarkan pengalaman dari pendamping korban, Dinov menuturkan proses menghadapi kasus tanpa adanya payung hukum sangat sulit.
Terlebih, di Indonesia stigma terhadap perempuan korban kekerasan seksual masih sering terjadi.
Seperti anggapan perempuan tidak pantas keluar malam dan berhak dilecehkan karena memakai pakaian minim.
"Kasus kekerasan seksual bukan dianggap melanggar kemanusiaan, jadi seperti dianggap melanggar norma dan budaya saja," jelas Dinov.
Padahal, sudah jelas hukuman membayar denda kepada korban atau menikahkan korban dengan pelaku, tidak akan menyembuhkan trauma korban.
Oleh karena itu, dengan adanya payung hukum, maka diharapkan korban kekerasan seksual bisa pulih dan kembali beraktivas lagi.
(Tribunnews.com/Inza Maliana)