Terwujudnya ekstradisi Maria, kata Yasonna, tak lepas dari diplomasi hukum dan hubungan baik antarnegara, juga karena komitmen pemerintah dalam penegakan hukum.
"Indonesia dan Serbia memang belum saling terikat perjanjian ekstradisi."
"Namun lewat pendekatan tingkat tinggi dengan para petinggi Pemerintah Serbia dan mengingat hubungan sangat baik antara kedua negara, permintaan ekstradisi Maria Pauline Lumowa dikabulkan," terang Yasonna Laoly dalam siaran pers, Rabu (8/7/2020).
Tak hanya itu, ekstradisi Maria Pauline Lumowa ini juga dipengaruhi asas timbal balik.
Baca: Maria Pauline Lumowa Tersangka Pembobolan BNI Rp1,7 Triliun Buron 17 Tahun, Diekstradisi dari Serbia
Baca: Profil Maria Pauline Lumowa, Tersangka Pembobolan Bank BNI yang Kini Ditangkap Usia Buron 17 Tahun
Diketahui, sebelumnya Indonesia sempat memenuhi permintaan Serbia untuk mengekstradisi pelaku pencurian data nasabah Nikolo Iliev pada 2015 silam.
Kronologi Kasus Pembobolan BNI
Dikutip Tribunnews dari Kompas.com, kasus pembobolan BNI yang dilakukan Maria Pauline Lumowa ini berawal pada periode Oktober 2002 hingga Juli 2003.
Saat itu, BNI memberikan pinjaman senilai 136 juta dolar AS dan 56 juta Euro kepada PT Gramarindo Group.
Nominal tersebut setara Rp 1,7 triliun dengan kurs waktu itu.
Diketahui, PT Gramarindo Group merupakan milik Maria dan Adrian Waworuntu.
Bantuan yang didapat PT Gramarindo Group diduga melibatkan orang dalam.
Pasalnya, BNI menyetujui jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya Ltd., Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd., dan The Wall Street Banking Corp.
Di mana, keempat bank itu bukanlah bank korespondensi BNI.
Baru pada Juni 2003, pihak BNI curiga pada transaksi keuangan PT Gramarindo Group dan mulai melakukan penyelidikan.
Baca: Yasonna Sukses Bawa Pulang Buronan Pembobol Bank BNI Maria Pauline Lumowa dari Serbia
Baca: Pakai Rompi Tahanan, Vina Pegawai Bank BUMN yang Gelapkan Uang Nasabah Miliaran Rupiah Tertunduk