TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua umum Relawan Jokowi atau ReJO, HM Darmizal MS menilai, sebagai presiden yang dipilih oleh mayoritas rakyat Indonesia pada masa dua periode kepemimpinannya, ada perubahan terhadap Joko Widodo.
Menurut Darmizal, pada periode pertama Jokowi lebih banyak action dalam bekerja.
Bahkan, tanpa banyak bicara mantan Walikota Surakarta itu langsung pindah frekuensi melakukan reshuflle dengan mengganti menteri yang bekerja lemot dan minim prestasi.
"Presiden Jokowi tidak segan-segan mengganti menteri yang tidak berkompeten dan tangkas dalam bekerja," kata Darmizal dalam keterangannya, Kamis (9/7/2020).
Saat itu lanjut Darmizal, hasilnya terlihat nyata. Pembangunan dalam segala hal terlihat bergerak begitu cepat, terutama sektor infrastruktur.
Baca: Jokowi Kembali Keluhkan Kinerja Menteri yang Belum Sesuai Harapan
Bahkan ini diakui oleh Datok Mahathir Mohammad, Perdana Menteri Malaysia, yang menyebut "untuk pertama kalinya kita tertinggal dari Indonesia dalam pembangunan".
"Namun pada periode kedua ini, Jokowi lebih lembut dan halus seperti orang Solo yang penuh toto kromo dan ewuh pakewuh. Presiden terlihat lebih ingin mengajak anak buahnya sebagai team work handal punya pandangan dan semangat yang sama, yaitu sense of crisis terhadap keadaan terkini dimasa pandemi Corona yang belum mereda," ungkap Darmizal.
Alumni Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini menilai, arahan presiden Jokowi atas hal yang sama secara berulang dalam waktu berdekatan, yakni tanggal 18 Juni diunggah 28 Juni dan pengarahan "ganti channel pada 7 Juli" adalah suatu pertanda kuat tidak jalannya arahan pertama.
Sehingga Jolowi turun langsung berhadapan dengan pejabat eselon 1 kementerian yang punya dana besar.
"Pidato presiden Jokowi pada 18 Juni dan 7 Juli terasa sebagai lonceng kematian bagi para menteri yang lemot dan minim prestasi. Ungkapan presiden tersebut adalah sinyal kuat atau penegasan perlunya pembantu beliau menciptakan tradisi baru, yaitu mundur atau berhenti sebelum diberhentikan," tegas Darmizal.
Lebih lanjut dijelaskan Darmizal, seorang menteri sebagai orang yang mengerti dan pelaksana teknis harus lebih peka melihat bahasa tubuh presiden. Menteri, harus responsif tanpa perlu menunggu arahan apalagi perintah.
"Presiden Jokowi telah menjalankan toto kromo 'ngewongke wong' atau memuliakan orang. Beliau tidak ingin terkesan grasa grusu untuk memecat menterinya dimasa sulit. Oleh karnanya, sudah semestinya menteri menjawab dengan bijak, budaya tahu diri atau tahu diuntung, yaitu berhenti menjadi beban presiden dan mundur," tambahnya.
Masih menurut Darmizal, mundur dari jabatan adalah sangat bijak.
"Akan jauh lebih terhormat daripada diberhentikan atau dipecat melalui reshuflle kabinet," ujar mantan Pimpinan Komisi Pengawas Partai Demokrat ini.
"Berikan kesempatan kepada presiden untuk memilih orang yang lebih kompeten, visioner dan punya terobosan-terobosan yang genuin, karena waktu yang semakin sempit," urainya.
"Rasanya kok sayang sekali dan ruginya bangsa kita ini. Ada orang yang tidak dikenal sebelum dan setelah diangkat menteri, dapat kehormatan menjadi pembantu Presiden. Namun tidak berprestasi dan berkinerja tidak sesuai harapan," katanya menambahkan.
Baca: Presiden Tinjau Food Estate hingga Posko Penanganan Covid-19 di Kalteng
Ditambahkan Darmizal, mestinya arahan presiden yang berulang tersebut dijawab dengan kinerja atau menyerahkan kembali jabatannya.
Hal itu, dilakukan agar presiden punya waktu lebih cepat untuk memilih orang yang lebih berkompeten kemudian berlari kencang sebagai pembuktian bahwa mereka punya sense of crisis dan sanggup bekerja dengan prestasi.
"Saya sepakat dengan yang disampaikan pengamat politik dan hukum dari Univertas Nasional (Unas) Jakarta, Saiful Anam yang mengatakan bahwa tepat sekali reshufle adalah obat pahit yang manjur bagi Jokowi saat ini," pungkas pria berdarah Minang ini.