TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (WP KPK) menyatakan urgensi pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mengusut perkara penyiraman air keras Novel Baswedan semakin tinggi.
Ketua WP KPK Yudi Purnomo mengharapkan Presiden Joko Widodo harus menunjukkan komitmen serius atas pemberantasan korupsi.
Permintaan Yudi ini merespons vonis terhadap dua terdakwa penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan, yakni dua anggota Brimob Polri, Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis yang masing-masing dihukum 2 tahun penjara dan 1,5 tahun penjara.
"TGPF yang terdiri dari berbagai unsur independen serta bebas kepentingan untuk bertanggungjawab langsung kepada Presiden menjadi kunci dalam pengungkapan kasus ini," kata Yudi lewat keterangan tertulis, Jumat (17/7/2020).
Baca: Tim Advokasi Novel Baswedan Minta Presiden Jokowi Bentuk Tim Gabungan Pencari Fakta
Pasalnya, menurut Yudi, terdapat beberapa kejanggalan dalam sidang putusan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (16/7/2020) kemarin.
Pertama, urainya, putusan hanya membenarkan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) dan belum mengungkap pelaku intelektual.
Yudi mengatakan, putusan terhadap terdakwa yang diduga penyerang Novel Baswedan tidaklah mengejutkan Wadah Pegawai KPK.
Hal tersebut mengingat fakta yang disajikan oleh JPU didasarkan hasil kerja penyidik Kepolisian yang hanya lebih banyak didasarkan pada pengakuan dari terdakwa serta seakan tidak mengelaborasi alat bukti lainnya.
"Termasuk Amicus Curiae yang dikirimkan organisasi masyarakat sipil, keterangan saksi korban maupun Tim Pencari Fakta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia," ungkap Yudi.
Kedua, menurut Yudi, putusan persidangan tidak dapat menjadi akhir dari pengungkapan kasus penyerangan Novel Baswedan.
Dia menjelaskan, berdasarkan fakta yang ada, putusan pengadilan tersebut masih menyisakan lubang didasarkan fakta yang terjadi, termasuk dari keterangan saksi-saksi maupun temuan dugaan maladministrasi terkait prosedur penanganan kasus Novel Baswedan. Termasuk jenis cairan yang digunakan sampai penanganan alat bukti.
"Hal tersebut membuat Wadah Pegawai KPK akan secara terus menerus mendorong pengungkapan kasus penyerangan ini sampai terbongkarnya serangan yang terjadi secara sistematis dan terencana ini sampai level pelaku intelektual," katanya.
Ketiga, Yudi merasa, keadilan bagi korban dan jaminan keberpihakan terhadap pemberantasan korupsi belum terpenuhi melalui penegakan hukum yang ada sehingga diperlukan upaya serius dari Jokowi sebagai Presiden.
Padahal, berulangkali berbagai peringatan baik nasional maupun internasional dilakukan untuk mendorong pengungkapan kasus ini.
Akan tetapi, menurut dia, pada akhirnya proses penegakan hukum yang ada masih belum dapat memberikan keadilan bagi korban karena memungkinkan pelaku sesungguhnya berpotensi masih belum dimintakan pertanggungjawaban.
"Hal tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap keadilan bagi korban tetapi juga jaminan pemberantasan korupsi ke depan yang independen yang membutuhkan jaminan rasa aman atas upaya nyata membunuh kerja pemberantasan korupsi," ujarnya.
Hal tersebut, ia mengingatkan, sesuai Jakarta Principles yang merupakan pelaksanaan komitmen negara atas ratifikasi UNCAC.
"Untuk itu, dibutuhkan adanya pencarian fakta yang bersifat independen dan bebas dari potensi Coflict of Interest [COI] dengan pembentukan tim gabungan pencari fakta," kata Yudi.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memvonis dua pelaku penyiraman air keras terhadap Novel, yaitu Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis masing-masing selama 2 dan 1,5 tahun penjara.
Rahmat selaku penyiram air keras terbukti melanggar Pasal 353 ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sementara untuk Ronny Bugis, hakim menilai yang bersangkutan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan penganiayaan terencana.
Atas vonis ini, dua terdakwa menyatakan menerima putusan. Sedangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan pikir-pikir.