TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute for Action Against Corruption (IAAC), Dodisutarma Lapihu menilai pembubaran 18 lembaga negara yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo adalah langkah lanjutan pasca rapat kabinet paripurna yang digelar internal pada 18 Juni 2020 lalu.
Menurut Dodi, pembubaran lembaga negara harus didukung dan perlu dilanjutkan oleh Presiden Jokowi sebagai bentuk penyederhanaan birokrasi di tubuh institusi pemerintahan.
Dodi menyampaikan, penyederhanaan birokrasi dibutuhkan, apalagi terungkap fakta bahwa serapan anggaran penanganan COVID-19 rendah.
Alasan rendahnya penyerapan anggaran COVID-19 salah satunya diduga akibat lambatnya birokrasi.
"Dalam diskusi daring IAAC beberapa waktu lalu, terungkap fakta bahwa salah satu penyebab realisasi anggaran belanja berjalan lamban adalah karena faktor birokrasi. Oleh karena itu, selain membubarkan lembaga, Presiden juga perlu mengevaluasi struktur di dalam jajaran kementerian/lembaga. Struktur atau direktorat yang tidak efektif sebaiknya dirampingkan saja," ujar Dodi Lapihu dalam keterangannya, Minggu (26/7/2020).
Baca: 2 Lembaga Terkait Fungsi Kemenlu Dibubarkan Jokowi, Menlu Beberkan Alasannya
Sebelumnya dalam diskusi daring yang dilaksanakan IAAC, dengan topik 'Reshuffle Kabinet Di Tengah Pandemi, Apakah Menjadi Solusi?" beberapa pembicara yang hadir menilai perlunya Presiden Jokowi melakukan evaluasi terhadap kinerja para menteri dan jajarannya.
Politisi PDI Perjuangan, Maruarar Sirait menilai kinerja para menteri harus dievaluasi sesuai basis dari visi misi Presiden Jokowi.
“Basis evaluasi kinerja para menteri adalah visi dan misi Presiden. Setiap menteri mempunyai Key Performance Indicator (KPI), dimana regulasi dan kebijakan yang dikeluarkan harus berkeadilan, bermanfaat, dan transparan," katanya.
Dia memberikan catatan penting terhadap pemerintahan pada masa pandemi COVID-19 saat ini, dimana dibutuhkan terobosan kebijakan yang luar biasa dan regulasi yang tegas sehingga dapat menekan penyebaran COVID-19.
“Diperlukan juga menteri yang mempunyai kompetensi di dunia usaha, yang siap pakai dan berpengalaman dalam menangani krisis. Kita butuh orang yang tepat dan mengetahui kondisi riil di lapangan,” tandasnya.
Terkait isu reshuffle, Direktur Eksekutif Indo Barometer, M. Qodari menyatakan bahwa Presiden mempunyai ukuran dalam menilai kinerja para menterinya.
"Sangat mengkhawatirkan jika masih ada pejabat publik yang melakukan bussiness as usual di tengah kondisi krisis saat ini. Serapan anggaran yang minim membuat stimulus ekonomi UMKM juga masih sangat minim,” katanya.
Menurutnya yang lebih pasti terjadi adalah pembubaran lembaga yang kewenangannya tumpang tindih dan tidak efektif.
“Ada tiga langkah yang akan diambil oleh Presiden dalam rangka mengoptimalkan penanganan COVID-19. Pertama adalah reshuffle kabinet, yang hampir pasti adalah pembubaran lembaga dan yang terakhir adalah kejutan. Kita tunggu kejutan selanjutnya dari Pak Jokowi," jelasnya.
Direktur Parameter Research Consultindo, Edison Lapalelo melihat pernyataan Presiden Jokowi dalam sidang kabinet 18 Juni 2020 telah banyak menimbulkan pertanyaan dan spekulasi secara khusus terkait reshuffle kabinet. Edison dalam paparannya, membagi menteri ke dalam tiga tipe.
"Menteri tipe A memiliki kekuatan politik, basic profesionalitas, dan memiliki investasi politik terhadap Presiden. Menteri tipe B adalah menteri yang hanya memiliki basis kekuatan politik. Dan menteri tipe C adalah menteri yang hanya memiliki basic profesionalitas," jelasnya.
Namun Edison menilai, dalam waktu dekat belum akan terjadi reshuffle karena Presiden masih memberikan solusi kepada kabinetnya berupa regulasi untuk memperlancar kinerja para menteri.
“Jika kita bicara tentang reshuffle, saya berpendapat bahwa dalam waktu dekat belum akan terjadi reshuffle karena jika dilihat dari pernyataan Presiden, di satu sisi Presiden memberi teguran keras terhadap kinerja para menterinya akan tetapi disisi lain, Presiden bersedia mengeluarkan regulasi untuk memperlancar kinerja para menteri," pungkasnya.
Abd. Rohim Ghazali dari Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah menyoroti kinerja menteri yang mendapat rapor merah berdasarkan kajian dan hasil riset yang dikeluarkan beberapa lembaga.
"Berdasar hasil riset beberapa lembaga, ada menteri yang mendapatkan rapor merah, tetapi popularitas Presiden masih di atas 50%. Hal ini memberikan gambaran bahwa masyarakat masih percaya kepada Presiden tapi tidak dengan para menterinya. Saya kira jika masyarakat menginginkan terjadi reshuffle kabinet maka itu sangat masuk akal,” katanya.
Menurut Ghazali, saat ini terjadi polarisasi keterbelahan dan ketidakpuasan yang menyebar di tengah masyarakat. Oleh karena itu, Ia menilai Presiden Jokowi harus cermat melihat kekuatan sosial dan politik yang ada di tengah-tengah masyarakat.
"Jika reshuffle dilakukan, saran saya agar Jokowi juga melihat personal-personal yang merupakan representasi partai politik dan pada saat yang sama juga merupakan representasi kekuatan-kekuatan sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat,” tandasnya.