News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Sejarawan: Narasi Kudatuli dalam Buku Sejarah Harus Diluruskan

Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kerusuhan PDI 27 Juli 1996 di Jakarta.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asvi Warman Adam, Peneliti sejarah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengkritik narasi sejarah tentang peristiwa 27 Juli 1996 atau yang disebut sebagai "kerusuhan dua puluh tujuh Juli" (kudatuli) dalam buku-buku pelajaran sejarah siswa di sekolah.

Dalam diskusi daring bertema Huru-hara di Pengujung Orba: Refleksi Peristiwa 27 Juli 1996, ia mengatakan narasi sejarah terkait peristiwa Kudatuli harus dibenarkan, terutama untuk generasi muda.

Menurut Asvi, narasi kudatuli di buku pelajaran sejarah masih erat dengan kekuasaan Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto dengan menyudutkan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Asvi menggarisbawahi narasi "Massa membakar Departemen Pertanian, Bank Kesawan, Showroom Toyota 2000, 23 mobil hancur" yang tertulis dalam Sejarah Nasional Indonesia Pemutakhiran 2008. Dalam narasi itu tidak disebut siapa pelaku pembakaran.

"Sementara kalimat itu berada di antara paragraf yang menyebut aksi pendukung Megawati. Sehingga awam yang membaca beranggapan bahwa yang membakar Departemen Pertanian dan lainnya itu adalah pendukung Megawati," kata Asvi.

Asvi menekankan bahwa narasi keliru yang tertulis dalam buku sejarah ini harus diluruskan. "Menurut saya ini harus diluruskan dari huku yang menjadi pedoman para guru dalam mengajarkan sejarah," kata Asvi.

Baca: Refleksi Kudatuli, Sejarawan Sebut Orba Lakukan Represi Sejak 1965

Ia mengatakan, sejak 2 Oktober 1965, rezim Orde Baru sudah melakukan kontrol ketat terhadap media massa sebagai alat penyebar pesan atau narasi sejarah versi penguasa Orde Baru.

Asvi mengatakan, selepas peristiwa Kudatuli, Kassospol ABRI saat itu, Syarwan Hamid mengumpulkan media massa.

"Tanggal 28, media massa dikumpulkan oleh Syarwan Hamid. Pimred-pimrednya dikumpulkan untuk menyampaikan narasi penguasa saat itu," kata Asvi.

Pada akhir diskusi, Asvi kemudian menyinggung soal pelanggaran HAM berat pada era Orde Baru. Menurut dia, masih banyak kasus pelanggaran HAM yang hingga kini belum tuntas.

Baca: Politikus PDIP Desak Komnas HAM Berani Ungkap Dalang Peristiwa Kudatuli

"Peristiwa pelanggaran HAM di era Orba masih bersifat impunitas, tidak ada yang diselesaikan secara tuntas. Banyak pelanggaran termasuk HAM berat sejak 1965 sampai 1998 masih terkatung-katung," kata Asvi.

Ia pun berharap pemerintah dapat segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat ini.

Presiden Joko Widodo pernah berjanji pada periode pertama pemerintahannya untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM.

"Meskipun kita sedang hadapi wabah corona, seyogyanya sehabis masalah itu, kita berupaya juga mencoba menyelesaikan masalah HAM masa lalu sehingga bangsa ini tak menanggung terus beban ini sepanjang masa," kata Asvi. (Kompas.com/Tsarina Maharani)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Peneliti Sejarah Kritik Narasi soal Kudatuli dalam Buku Pelajaran"

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini