TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung RI akhirnya angkat bicara ketika kuasa hukum Djoko Tjandra mempertanyakan dasar hukum penahanan terpidana korupsi tersebut.
Kejagung mengaku siap jika kuasa hukum keberatan dengan penahanan kliennya tersebut.
Kapuspenkum Kejaksaan Agung RI, Hari Setiyono mengatakan eksekusi terhadap Djoko Tjandra mengacu pada putusan peninjauan kembali (PK) nomor 12 PK/Pid.sus/2009 yang dikeluarkan Mahkamah Agung (MA) pada 2009 lalu.
Di dalam putusan itu, memang tidak ada istilah penahanan.
Namun, dia menegaskan dalam putusan itu kejaksaan diminta mengeksekusi terpidana sesuai dengan vonis yang telah ditetapkan hakim.
Baca: Otto Hasibuan Pertanyakan Dasar Penahanan Djoko Tjandra, Pertimbangkan Opsi Praperadilan
"Jadi tidak ada istilah penahanan. Jadi eksekusi. Kalau pun ada yang berpendapat bahwa putusan itu tidak memenuhi syarat ketentuan dalam pasal 197 ayat 2 maka ranahnya menjadi berbeda," kata Hari di Kejaksaan Agung RI, Jakarta, Selasa (4/8/2020).
Hari juga menjawab persoalan ketentuan pasal 197 ayat 2 yang dipersoalkan oleh kuasa hukum Djoko Tjandra. Menurutnya, saat ini sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 69 tahun 2013.
Dalam beleid tersebut, setiap perkara yang diputus dan tidak memenuhi sebagaimana yang diatur pada pasal 197 ayat 2 tidak batal secara hukum. Artinya, keputusan PK dan eksekusi terhadap Djoko Tjandra sah secara hukum.
"Jadi kalaupun ada yang berpendapat bahwa itu tidak sah ataupun harus batal demi hukum, maka kami siap jika memang hal tersebut akan dipermasalahkan dalam tataran ranah hukum, misalnya melalui proses hukum, kami akan siap melakukan penjelasan terhadap hal itu," jelasnya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan istilah penahanan yang kerap digunakan oleh kuasa hukum Djoko Tjandra, Otto Hasibuan.
Menurutnya, pihaknya tidak menggunakan istilah penahanan, akan tetapi istilah eksekusi.
"Kami ulangi sekali lagi, jaksa eksekutor melaksanakan tugasnya dalam rangka eksekusi tidak ada lagi namanya penahanan, penahanan itu dalam ranah penyidikan penuntutan maupun di persidangan. Ada kewenangan penyidik, penuntut umum maupun hakim. Putusan PK ini adalah upaya hukum luar biasa dalam tingkat akhir. Sudah tidak ada lagi upaya hukum lain," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Hukum Djoko Tjandra Otto Hasibuan mempertanyakan penahanan terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali itu di Rutan Bareskrim. Dia mengklaim tidak ada dasar hukum perintah penahanan Djoko Tjandra.
Diketahui, perintah yang dimaksudkan adalah perintah dalam putusan peninjauan kembali (PK) nomor 12 PK/Pid.sus/2009 yang dikeluarkan Mahkamah Agung (MA) pada 2009 lalu.
"Di dalam putusan PK, tidak ada perintah untuk pak Djoko ditahan. Nah kalau tidak ada perintah ditahan kenapa dia ditahan? Apakah itu nanti kejagung memberikan klarifikasi, apakah kita harus mengajukan praperadilan, kita belum tahu," kata Otto di Bareskrim Polri, Jakarta, Sabtu (1/8/2020) malam.
Di dalam PK tersebut, dia mengklaim Djoko Tjandra hanya dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukum 2 tahun penjara. Selain itu, kliennya juga diminta untuk membayar denda sebesar Rp 15 juta dan assetnya dirampas hingga Rp 500 milliar lebih.
"Jadi hukumannya itu saja. Jadi tidak ada putusan yang sifatnya kondemnator, menghukum atau memerintahkan Djoko Tjandra harus ditahan," jelasnya.
Atas dasar itu, pihaknya akan menyampaikan surat klarifikasi resmi kepada Kejaksaan Agung dan sejumlah penegak hukum lainnya. Khususnya untuk mempertanyakan dasar hukum penahanan dari Djoko Tjandra.
"Yang pasti kita sedang mempertanyakan dasar penahanan terhadap Djoko Tjandra. Pertanyaan saya kenapa dia ditahan, atas amar putusan yang mana? Itu menjadi masalah hukum nih, apa boleh seseorang ditahan padahal dalam amar putusan tidak ada perintah menahan," pungkasnya.