Laporan Wartawan Tribunnews.com, Bayu Indra Permana
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kelompok masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil memberikan dukungan kepada Jerinx SID yang saat ini mendekam di Polda Bali.
Pada Rabu, (12/8/2020) kemarin Jerinx, pemilik akun IG @jrxsid resmi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan atas dugaan pelanggaran Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan/atau Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengenai ujaran kebencian dan pencemaran nama baik.
Drummer Superman Is Dead (SID) ini dilaporkan oleh IDI wilayah Bali atas postingannya yang menyebut IDI sebagai “kacung WHO” karena mewajibkan rapid test.
Aliansi Masyarakat Sipil berpendapat, penggunaan pasal pidana UU ITE untuk menjerat Jerinx atas postingan yang dibuatnya ini tidaklah tepat.
Lebih lanjut, penahanan yang dikenakan terhadapnya tidaklah perlu untuk dilakukan dan cenderung dipaksakan.
Adapun pernyataan Jerinx terhadap penanganan COVID-19 yang kontraproduktif perlu menjadi pemicu untuk menghadirkan diskursus publik yang lebih sehat, ketimbang menggunakan jalur kriminalisasi melalui instrumen UU ITE.
Dalam siaran pers yang diterima Tribunnews.com, Kamis (13/8/2020) mereka beranggapan penggunaan Pasal 28 ayat (2) untuk menjerat Jerinx atas postingan yang dibuatnya jelas tidaklah tepat dan menyalahi makna dari ketentuan tersebut.
Baca: Pesan Jerinx SID Sebelum Diantar ke Rutan dengan Tangan Diborgol: Untuk Korban Kebijakan Rapid Test
Baca: Jerinx Sering Bertemu Orang Tanpa Pakai Masker, Nora Alexandra Salut Suaminya Tak Reaktif Covid-19
Ketentuan tersebut pada dasarnya hanya dapat digunakan untuk menjerat ekspresi-ekspresi yang termasuk ke dalam kategori incitement to hatred/violence/discriminate atau penghasutan untuk melakukan suatu tindakan kebencian/kekerasan/diskriminasi berdasarkan SARA.
Elemen penting dalam ketentuan itu yakni “menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”.
Niat menjadi satu komponen yang paling penting untuk membedakan antara ekspresi yang sah (legitimate expression) dengan ekspresi yang termasuk ke dalam ujaran kebencian.
Menurut pandangan Aliansi Masyarakat Sipil, ekspresi yang disampaikan oleh Jerinx di dalam postingan Instagramnya tersebut, yang merujuk kepada IDI sebagai “kacung WHO” sangat jauh untuk dapat dikatakan memenuhi unsur ini.
Lebih jauh, untuk dapat mengetahui apakah sebuah ekspresi masuk kualifikasi sebagai penyebaran ujaran kebencian, terlebih dahulu harus dilihat: (1) Konteks di dalam ekspresi;
(2) Posisi dan status individu yang menyampaikan ekspresi tersebut;
(3) Niat dari penyampaian ekspresi untuk mengadvokasikan kebencian dan menghasut;
(4) Kekuatan muatan dari ekspresi;
(5) Jangkauan dan dampak dari ekspresi terhadap audiens; dan
(6) Kemungkinan dan potensi bahaya yang mengancam atas disampaikan ekspresi. Rentannya penyalahgunaan pasal incitement to hatred ini, mengharuskan aparat penegak hukum untuk lebih berhati-hati dalam menilai suatu ekspresi memiliki muatan bahaya (harmful) serius, sehingga dapat dipidana. Sedangkan dalam peristiwa ini, kualifikasi bahaya tersebut belum terpenuhi.
Tidak hanya penggunaan Pasal 28 ayat (2) UU ITE terhadap Jerinx yang tidak tepat, penggunaan Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik juga sama sekali tidak berdasar. Pasal 27 ayat (3) dalam penerapannya haruslah mengacu kepada ketentuan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP yang mengatur mengenai pencemaran terhadap individu.
Artinya, pasal tersebut hanya dapat dikenakan terhadap pencemaran yang ditujukan terhadap orang perseorangan, bukan terhadap institusi ataupun badan hukum. Pasal 27 ayat (3) KUHP pun merupakan delik aduan absolut yang artinya individu yang dicemarkan itu sendiri yang harus melaporkan perbuatan pidana terhadapnya dan bukan perwakilannya.
Penahanan yang dilakukan terhadap Jerinx oleh Kepolisian mereka anggap bukanlah langkah yang tepat untuk diambil, terlebih di masa pandemi Covid-19 ini,
Apalagi, seluruh pihak di dalam sistem peradilan pidana sedang berusaha keras mengurangi jumlah tahanan dari dalam fasilitas penahanan untuk mencegah terjadinya penularan Covid-19 di dalam fasilitas.
Meskipun pasal yang digunakan untuk menjerat Jerinx ancamannya lebih dari 5 (lima) tahun, namun demikian Kepolisian yang memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan harus dapat melihat urgensi dari pelaksanaan upaya paksa ini dengan lebih baik.
Terlebih, pasal yang diancamkan kepada Jerinx, sama sekali tidak melibatkan adanya kekerasan, yang seharusnya menjadi bahan pemikiran bagi Kepolisian untuk tidak memprioritaskan penahanan terhadapnya.
Berdasarkan hal tersebut, Aliansi Masyarakat Sipil mendesak sejumlah hal berikut ini:
1. Kepolisian untuk menghentikan penyidikan perkara ini, mengingat tidak terpenuhinya sejumlah unsur pidana sebagaimana dijelaskan di atas.
2. Segera mengeluarkan Jerinx dari tahanan, penahanan Jerinx dapat menjadi gambaran tidak pekanya penyidik terhadap kondisi pandemic Covid-19 yang saat ini juga menjadi persoalan di tempat-tempat penahanan.
3. Kejaksaan apabila perkara ini tidak dihentikan penyidikannya, sebagai dominus litis, menolak melakukan penuntutan karena tidak layaknya perkara ini untuk diajukan ke persidangan.
4. Aparat penegak hukum untuk lebih hati-hati menggunakan ketentuan di dalam UU ITE dan menerapkannya dengan ketat sesuai dengan batasan-batasan yang sudah ditentukan.
5. Pemerintah dan DPR untuk segera memprioritaskan perubahan kembali UU ITE, melihat UU ITE masih belum tepat sasaran dan penggunaanya cenderung eksesif.