Laporan Wartawan Tribunnews.com, Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintahan Presiden Joko Widodo berkomitmen untuk terus memerangi paham radikal dan terorisme.
Pasalnya, radikalisme dan terorisme semakin hari semakin berkembang.
Bahkan, kelompok teror di Indonesia sudah banyak melibatkan anak-anak maupun perempuan untuk melakukan aksi kejinya.
Deputi Komunikasi dan Informasi Badan Intelijen Negara (BIN), Dr. Wawan Hari Purwanto mengatakan berkaca pada kasus Bom Surabaya tahun 2018, terdapat perubahan pola serangan teror yang awalnya dilakukan secara tunggal menjadi dilakukan secara komunal.
"Bahkan, pelaku teror kini sudah berani menyasar pejabat negara seperti penyerangan terhadap Menko Polhukam Wiranto pada 2019 silam," ujar Wawan dalam keterangannya, Senin (17/8/2020).
Dengan demikian, menurut dia, diperlukan strategi kontra terorisme untuk menangkal aksi tersebut, salah satunya melalui program deradikalisasi yang menyasar kalangan Narapidana Terorisme (Napiter) maupun Eks Napiter.
"Deradikalisasi merupakan upaya menetralisir pemikiran radikal pelaku teror, dari yang awalnya radikal menjadi tidak radikal. Kegiatan deradikalisasi juga menjadi sangat penting dilakukan di tengah ancaman serangan narasi terorisme yang banyak menyebar lewat internet," ujar Wawan,
Baca: Eks NII Berbagai Daerah Deklarasi Melawan Paham Khilafah, Intoleransi dan Radikalisme
Wawan mengatakan proses deradikalisasi bertujuan untuk merehabilitasi dan mereintegrasi Eks Napiter kembali ke masyarakat.
"Program tersebut dilaksanakan secara terpadu oleh sejumlah kementerian dan lembaga terkait serta melibatkan partisipasi publik," katanya.
Dalam praktiknya, lanjut Wawan, proses deradikalisasi menemui sejumlah kendala. Beberapa kendala tersebut diantaranya adalah adanya penolakan masyarakat terhadap Eks Napiter hingga tuduhan belum optimalnya deradikalisasi.
Padahal, kata dia, banyak eks Napiter yang telah hidup normal bahkan menjadi duta anti terorisme.
"Minimnya informasi yang beredar di masyarakat tersebut pada gilirannya telah membentuk persepsi negatif terhadap kebijakan penanganan terorisme," papar Wawan.
Baca: Sosok Indrian Puspita Ramadhani, Paskibraka Muda yang Buat Sejarah karena 2 Kali Dipanggil ke Istana
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011, Badan Intelijen Negara merupakan lini pertama dalam sistem keamanan nasional.
Dalam hal ini, menurut Wawan, BIN berkepentingan untuk menjaga keamanan dan ketertiban nasinonal, termasuk terlibat dalam proses rehabilitasi Eks Napiter agar kembali mengakui NKRI dan dapat kembali diterima masyarakat luas.
"Keberhasilan rehabilitasi mantan tahanan teroris memiliki arti penting bagi keamanan nasional maupun internasional. Selain itu, rehabilitasi Eks Napiter merupakan upaya memanusiakan manusia sekaligus upaya memberikan kesempatan kedua untuk menebus kesalahannya di masa lalu," katanya.
Bersama dengan instansi negara lainnya, kata Wawan, BIN bekerja keras untuk melakukan rehabilitasi terhadap Eks Napiter.
Salah satu contohnya adalah Paimin seorang pria kelahiran Sragen, Jawa Tengah yang terbukti memimpin sebuah kelompok beranggotakan delapan orang dan berencana meracuni polisi di Polda Metro Jaya sebelum akhirnya ditangkap pada Oktober 2011 silam.
Akibat perbuatannya tersebut, Paimin harus menjalani hukuman penjara di Polda Metro Jaya, Mako Brimob, dan Lapas Klas II A Magelang selama 30 bulan sebelum bebas pada April 2014.
Berbeda dengan Paimin, Priyatmo alias Mamo merupakan Eks Napiter yang menjalani hukuman lima tahun penjara atas kepemilikan senjata yang diselundupkan dari Filipina ke Indonesia melalui Pulau Sebatik, Nunukan, Kalimantan Timur, pada 2011.
Baca: Pria di Kaltim Simpan Jasad Istri di Tandon hingga Busuk, Tidak Dikubur karena Tak Mau Jauh
Meski memiliki latar belakang kasus terorisme dan kelompok yang berbeda, baik Paimin, Priyatmo, Eks Napiter lainnya telah sama-sama kembali kepada pangkuan NKRI, serta mengambil kesempatan kedua yang dimiliki untuk menebus kesalahan masa lalunya.
"Semuanya kini fokus memperbaiki taraf perekonomian keluarga masing-masing maupun lingkungan sekitar rumah mereka dengan berbagai kegiatan positif," kata Wawan.
Bahkan, menurut Wawan, kini Priyatmo menjadi ketua kelompok tani ikan di lingkungan tempat tinggalnya dengan rutin mengadakan latihan budidaya ikan secara mandiri, termasuk dalam membuat pakan ikan agar mendapat keuntungan maksimal saat panen tiba.
Di bulan Agustus 2020, para Eks Napiter juga direncanakan untuk mengikuti upacara bendera Perayaan HUT RI ke-75.
"Selain sebagai upaya untuk memupuk nasionalisme, kehadiran Eks Napiter menjadi simbol kembalinya mereka ke NKRI. Penanganan radikalisme harus dapat dilaksanakan dari hulu hingga hilir dan melibatkan semua pihak," katanya.
Selain Pemerintah, Wawan mengatakan masyarakat juga perlu berperan aktif dalam menerima kembali para Eks Napiter.
"Mengucilkan Eks Napiter dan para keluarganya justru akan semakin membuat mereka masuk ke dalam lingkaran kekerasan dan dapat kembali menjadi teroris," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, masyarakat diimbau untuk terus aktif menangkal radikalisme yang saat in terus berkembang, utamanya di tengah pandemi Covid-19.
"Selain itu, semua pihak juga diharapkan mampu mengimplementasikan semangat toleransi, nilai-nilai kebangsaan dan konsep beragama sesuai tuntunannya masing-masing," kata Wawan.