TRIBUNNEWS.COM - Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo menjadi salah satu presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) bersama dengan Profesor Rochmat Wahab, dan Din Syamsuddin.
Deklarasi KAMI telah dilaksanakan di Tugu Proklamasi di Jalan Proklamasi, Jakarta, Selasa (18/08/2020).
Dalam sambutannya saat deklarasi KAMI, Gatot Nurmantyo menyinggung adanya oligarki politik menggunakan dalih konstitusi.
"Saya berbicara antara lain tentang proxy war, yang kini telah menjadi ancaman luar biasa terhadap kedaulatan suatu bangsa."
"Bagi intervensi pemilu, dan memilih pejabat untuk pada saatnya pejabat tersebut bisa dikenalkan bahkan menjadi boneka bagi kepentingan lain yang bukan tujuan dan kepentingan negara," ungkapnya dilansir YouTube Realita TV, Selasa (18/8/2020).
Sementara itu, Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera menilai Gatot Nurmantyo memiliki hak untuk maju dalam kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
"Setiap warga negara punya hak untuk dipilih dan memilih selama diperbolehkan pengadilan atau tidak sedang dicabut haknya. Pak Gatot salah satu tokoh tentu punya hak untuk maju disemua level Pilpres 2024 juga boleh," ujarnya dilansir YouTube Kompas TV, Kamis (20/8/2020).
Baca: HNW Sesalkan Teror Terjadi kepada Deklarator KAMI
Mardani menjelaskan jika presidential threshold sekarang hanya memungkinkan adanya dua calon pasangan dalam Pilpres 2024.
Untuk itu ia dan partai PKS sebagai oposisi berusaha menurunkan presidential threshold menjadi 5 persen agar banyak yang mencalonkan diri dalam Pilpres 2024.
"Tetapi memang saat ini demokrasi yang sehat membutuhkan ada kompetisi yang tidak hanya dua pasang calon. Karena itu PKS tetap berjuang menurunkan presidential threshold di 5 persen maksimal 10 persen. Jadi ada banyak tokoh terbaik dapat maju," ungkap pria 52 tahun ini.
Namun, ia menyarankan agar Gatot Nurmantyo dan tokoh-tokoh lain yang ingin maju dalam kontestasi Pilpres melalui partai politik.
"Tapi paling baik memang melalui partai politik karena untuk Pilpres kendaraan yang diperbolehkan lewat partai politik."
"Monggo yang berminat maju 2024 jangan malu, umumkan, paparkan gagasan, ide besar dan kerangka kerjanya. Indonesia perlu semua anak-anak negeri terbaik maju di 2024," imbuhnya.
Baca: Gatot Nurmantyo Ungkap Alasan Ikut KAMI: Sumpah Itu Tanggung Jawab Dunia Akhirat
Sebelumnya, Politisi PDI-P, Adian Napitupulu mengkritisi struktur organisasi KAMI dan pernyataan bahwa KAMI merupakan gerakan moral.
Menurutnya dalam organisasi tersebut anggota tidak memiliki kewenangan berbicara atas nama organisasi.
"Sudah dijelaskan dalam jatidiri poin kelima tidak boleh seorangpun berbicara ketika tidak berbicara atas nama KAMI ketika tidak melalui Dewan Deklalator," ujarnya dilansir YouTube Kompas TV, Selasa (18/8/2020).
Hal tesebut diungkapkan Adian dalam acara Sapa Indonesia Malam Kompas TV.
Aiman selaku pembawa acara menanyakan ke Adian tentang bahaya dari struktur organisasi KAMI.
"Ini organisasi apa, organisasi ini sudah membelengu para anggotanya untuk menyikapi situasi ini. Mereka bergabung dalam organisasi tapi pernyataannya pernyataan pribadi nantinya."
"Inikan mengganggu kerja mereka, diatur koridornya. Selama dalam koridor itu harusnya bisa berbicara atas nama KAMI," ungkap anggota DPR RI ini.
Baca: Deklarasi KAMI, Din Syamsuddin: Hari Lahir Pancasila 18 Agustus 1945
Menurutnya mekanisme bersuara di KAMI terlalu rumit karena ada Dewan Deklalator dan Presidium.
"Kedua terlalu rumit. Ada Dewan Deklalator kemudian dipimpin oleh presidium. Presidium bisa mempresentasikan wilayah. Jangan sampai Presiduim hanya mempresentasikan dirinya saja dan pernyataannya," imbuhnya.
Aktivis 1998 ini menilai organisasi KAMI rentan persoalan internal dan tidak bisa bergerak cepat.
Ia juga menganggap organisasi KAMI akan menjadi gerakan politik jika mekanismenya seperti ini.
"Kalau gerakan moral dia akan terbuka terhadap ide dan kritik."
"Kalau tergantung pada mekanisme Dewan Deklalator sebagai pagarnya ini akan menjadi gerakan politik. Karena ada patronnya," ungkap pria 49 tahun ini.
Adian menambahkan gerakan KAMI kurang relevan jika dikatakan sebagai gerakan moral.
Menurutnya sistem yang diterapkan KAMI lebih mengacu ke gerakan politik.
"Kalau gerakan moral terbuka, tidak semua orang bisa sama dalam suatu hal."
"Ketika dipagari sedemikian rupa untuk mencegah nilai moralnya di dalam ini serta merta menuju gerakan politik."
"Kalau mau ke gerakan politik, pemilu masih jauh. Apakah mau menjelma sebagai partai politik di kemudian hari, itu bisa saja sebuah kemungkinan," imbuhnya.
(Tribunnews.com/Mohay)