"Lokasi kebakaran itu kan terjadi di gedung bangunan tinggi antara 6-7 lantai, jadi secara operasional itu kami yang lebih paham untuk menanganinya," kata Satriadi.
Satriadi mengatakan, untuk medan kebakaran yang berada di lokasi tinggi, lebih tepat memakai bronto skylift atau armada yang dilengkapi dengan tangga tinggi. Untuk ukurannya, bervariasi dari 55 meter sampai 90 meter.
Sementara untuk robot yang dibeli pada 2019 lalu, lebih tepat digunakan untuk mengantisipasi kebakaran yang terjadi di trayek kereta Light Rail Transit (LRT) Jakarta atau Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta.
Robot itu, kata dia, juga cocok diaplikasikan di tempat-tempat yang sangat berbahaya dari kobaran api seperti kilang minyak yang mengalami kebakaran.
"Karena robot kan memakai remote kontrol dari jarak jauh. Jadi untuk keamanan petugas lebih bisa dipakai, karena di situ ada bahan material yang berbahaya seperti ledakan, zat kimia atau gas beracun," ungkapnya.
Selain itu, daya jangkau penyemprotan dari robot tersebut juga tak sekuat bronto skylift. Sebab robot ini didesain untuk menghadapi bahaya jarak dekat.
"Untuk masuk bangunan itu juga nggak bisa, jadi bronto skylift paling efektif untuk di bangunan tinggi, karena bisa salah kami kalau memakai robot. Kecuali ada di MRT atau LRT yang ada di bawah tanah," jelasnya. (Tribunnews/igm, warta kota/faf)