TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi pemerhati Pemilu yang tergabung dalam Gerakan Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD) memandang pengaktifan kembali Evi Novida Ginting sebagai Komisioner KPU RI adalah bentuk mencederai kepastian hukum atas pelanggaran etik Pemilu.
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang melatarbelakangi pencabutan Keputusan Presiden Nomor 34/P Tahun 2020 dapat diartikan bahwa keputusan DKPP tak lagi dipandang final dan binding bagi penyelenggara Pemilu.
"Dengan adanya keputusan ini keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu tidak lagi dipandang final dan binding bagi penyelenggara Pemilu. Di sisi yang lain, PTUN akan menjadi lahan subur bagi pemaafan kasus-kasus coreng penyelenggara yang merusak integritas demokrasi," kata Koordinator Tepi Indonesia yang juga anggota koalisi GIAD, Jeirry Sumampow dalam keterangan tertulisnya, Kamis (27/8/2020).
Baca: Evi Novida Ginting Kembali Jabat Komisioner KPU, Apa Tanggapan DKPP?
Diketahui Evi Novida diadukan ke DKPP atas dugaan pelanggaran etik berat terkait dugaan perubahan hasil Pemilu. DKPP menjatuhkan sanksi kepada Evi berupa pemberhentian tetap.
Ketidakjelasan kasus Evi yang sebelumnya telah diputus pelanggaran etik berat oleh DKPP dikhawatirkan berdampak pada ketidakpastian putusan etik Pemilu lewat DKPP yang seharusnya final dan mengikat sesuai UU Nomor 7 Tahun 2017.
Terkait hal ini, koalisi GIAD meminta DKPP segera bersikap untuk menjaga marwah integritas dan etika kepemiluan.
Mereka juga meminta KPU menolak kembalinya Evi Novida sebagai anggota KPU atas nama integritas Pemilu.
"Meminta Penegak Hukum dan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menelisik kasus Evi lebih jauh terkait dugaan praktek transaksional di balik siasat penetapan kursi kader Partai Gerindra di Kalimantan Barat," ucap Jeirry.